Downpour (2)

2.9K 353 14
                                    

Saat Gibran sudah menyusun segala alasan untuk menjelaskan bahwa ia tetap akan mengantar Nisa menemui orang tuanya namun Nisa sudah mendahului dengan kata-kata paling haru yang sanggup membuat detak jantung Gibran berdegup dua kali lebih cepat daripada saat suara Amanda berdengung di telinganya.

"Kita harus ke rumah Manda. Dia pasti sangat membutuhkan kamu saat ini."

Pada akhirnya mereka sampai rumah Manda yang sudah di penuhi oleh orang-orang berpakaian hitam beserta lantunan surat Yasiin serta isak tangis menyesakkan. Nisa menahan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah duka dan memilih untuk duduk di kursi luar bersama beberapa orang lain disaat Gibran langsung menemui Manda untuk menenangkan perempuan itu.

"Manda, Ini saya Gibran." Gibran menyentuh lengan Manda pelan. "Gibran?" Manda mendongak dan matanya langsung bertemu dengan Lelaki itu. Amanda menabrak tubuh Gibran dengan pelukan yang lemah. Wajahnya sembab dengan air mata yang terus turun dan hidung yang memerah. Gibran mempererat pelukannya dan menepuk punggung Manda untuk menenangkan perempuan itu. Gibran melirik sekitar, keluarga besar Manda sudah berkumpul dan tetap membaca tiap surat Yasiin dengan khusyuk walau air mata mereka tidak kunjung berhenti. "Mama Bim, Mama ninggalin aku-" Manda bergumam dalam isak tangisnya, Gibran masih terus mengusap pundak Manda "Bim aku... aku.... aku membunuh mama Bim." Gibran menutup matanya perlahan, mencoba mengingat sosok almarhumah terakhir kali saat beliau masih di rawat.

"Mau kemana, Mas?" Arissa, Adik Manda bertanya bingung saat Gibran berdiri sambil menggendong Manda dalam pelukannya. "Manda tertidur." Lelaki itu bersuara dan Arissa mengangguk.

Arissa menggantar Gibran masuk ke dalam kamar sang kakak dan membiarkan lelaki itu menaruh Manda di tempat tidur dan menyelimutinya dalam diam. "Aku minta maaf untuk segalanya-" Gibran bergumam pelan, ia bisa melihat air mata Manda tetap turun meski ia sedang tertidur. "Kamu seharusnya tidak harus keluar dari pekerjaan hanya untuk menghindari aku. Kamu juga tidak harus mencari pekerjaan lain disaat kamu butuh uang yang tidak sedikit untuk pengobatan Ibu kamu." Gibran merasa bersalah. Manda memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris untuk menghindari Gibran. Lelaki jahat yang tidak cukup memperhatikan orang-orang berharga baginya.

Gibran menghapus jejak air mata Manda pelan-pelan supaya tidak mengganggu tidurnya. "Seharusnya kamu memarahi aku bukannya memilih pergi waktu itu, aku minta maaf." Setelah duduk lebih dari lima menit, Gibran berdiri dan segera keluar dan bergabung dengan orang lain. Namun ia tersadar seketika, dimana Nisa?

Gibran berjalan cepat keluar dari rumah duka dan mendapati keberadaan Nisa yang duduk agak menjauh dengan bahu yang bergetar. "Ra?" Panggil Gibran "Kamu kenapa?" Lalu berjongkok dihadapan kekasihnya.

Nisa segera menghapus air mata dan menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuhnya "Aku ikut berduka, kehilangan Ibu adalah cobaan paling besar." Gibran mengangguk, ia pikir Nisa punya perasaan yang sama dengannya. "Aku baru saja membawa Amanda ke kamarnya. Dia tertidur karna kelelahan menangis." Gibran menarik kursi dan duduk di sebelah kekasihnya.

Untuk sesaat mereka tidak mengeluarkan perkataan karena terlalu sibuk dengan pemikiran-pemikiran yang berputar. Nisa bahkan menahan telinga yang berdegung dan ingatan yang sama saat hari duka datang kepadanya. Keadaan yang sama membuatnya mengingat kejadian lama itu. Suasana yang sama menahan Nisa untuk tidak memasuki rumah duka sehingga ia memilih untuk duduk di halaman depan bersama tamu-tamu lain. Ia telah menyiapkan kalimat yang dibutuhkan oleh Manda saat ini. Nisa ingin membantu menguatkan Manda sebisanya karna ia tak akan sanggup untuk duduk di dekat jenazah, ia tidak akan kuat.

Karena kehilangan seorang Ibu rasanya seperti kehilangan seluruh duniamu.

"Kamu sakit?" Gibran menyentuh lengan Nisa yang ternyata masih bergetar pelan. "Kamu pucat yang." Gibran terkejut ketika Nisa menatapnya dengan wajah lesu dan bibir yang pucat. Padahal seingatnya tadi Nisa tidak sepucat ini.

"MAMA! AKU MAU MAMA! RISSA MANA MAMA?!"

Gibran refleks berjalan cepat ketika teriakan histeris terdengar dari dalam rumah. Nisa menyusul Gibran dengan pelan sambil berusaha menguatkan dirinya agar tidak lemah, ia perlu kekuatan dan Amanda juga membutuhkan kekuatan saat ini.

Amanda berteriak histeris sambil melempar bantal guling ke segala arah, Arissa tampak kewalahan walau air matanya semakin turun deras. "Mbak, Mama sudah pergi. Mbak sudah janji kan akan kuat. Kita ikhlas Mbak, Allah sayang sama Mama karena itu beliau diambil dari kita." Gibran bisa mendengar suara Arissa yang tengah membujuk kakaknya yang berteriak sambil menangis. "Rissa, biar Mas saja." Gibran mendekat dan Rissa membiarkan laki-laki yang ia ketahui sebagai mantan kekasih sang kakak untuk mencoba bicara.

Gibran duduk di pinggir ranjang, menyentuh bahu Manda dan perempuan itu menoleh "Bim-" Suara serak Manda terdengar sangat menyedihkan dan Gibran bertaruh ia tidak ingin lagi mendengarnya. "Semuanya akan baik-baik saja, kamu bisa melewati ini semua." Gibran mengelus rambut Manda yang basah karena keringat dan air mata. "Allah tau yang terbaik bagi kamu, Ikhlas dan tabah. Ini bukan akhir dari hidup kamu."

Manda menatap Gibran sengit, emosi dan sesak membutakan segala akal sehatnya. "Ini semua karna kamu! Kalau saja kamu kasih aku kabar dan nggak menghilang waktu itu pasti aku akan baik-baik saja, aku nggak akan keluar dari pekerjaan dan sibuk mencari pekerjaan baru supaya menghindar dari kamu! Aku nggak harus mencari pekerjaan lain disaat pengobatan Mama butuh biaya yang nggak sedikit, aku nggak harus menunda operasi Mama dan semuanya nggak akan berakhir seperti ini. SEMUANYA KARNA KAMU!" Gibran menahan diri saat Manda menghujani dirinya dengan pukulan-pukulan lemah yang disertai air mata dan teriakan pilu.

Sungguh, ia tak tau lagi harus mengatakan maaf atas semua ini.

"Kamu! Kenapa kamu melakukan semua ini, Bim?" Manda kembali bergumam, wajah sembabnya benar-benar terlihat memilukan membuat orang lain merasa iba "Aku minta maaf-" Gibran mengucapkan kembali kata maafnya dan entah kenapa kalimat itu justru semakin membuat Manda meradang.

Nisa berjalan dengan pelan dan mendekati Manda yang masih menangis keras "Halo, Manda." Sapanya pelan, Nisa beringsut duduk di pinggir ranjang saat Gibran berjalan mundur dan memperhatikan dari jauh. Perasaan bersalahnya semakin besar kepada Manda. "Annisa?" Suara Manda terdengar lemah

"Saya tau bagaimana perasaan kamu saat ini. Karena itu saya tidak akan menasehati kamu untuk ikhlas dan sabar karena Ikhlas dan sabar tidak se mudah yang orang ucapkan." Nisa memperbaiki rambut Manda yang berantakan, "Mereka bisa dengan mudah mengatakan agar kita tabah dan sabar tapi mereka tidak tau bagaimana perjuangan kita untuk semua itu. Mereka bilang kita jangan mengeluh dengan cobaan yang datang tapi mereka tidak pernah membantu kita. Orang-orang hanya bisa mengucapkan kalau mereka turut berduka cita dan berdoa agar kita tabah dan sabar." Nisa tetap berusaha untuk tersenyum sambil menenangkan emosi Manda.

Perlahan-lahan Manda bisa mengendalikan dirinya "Orang-orang bisa berkata begitu karena mereka belum pernah merasakan hal yang kita rasakan ini. Mereka bisa menyuruh kita untuk sabar karena mereka masih memiliki orang tua dan kasih sayang tapi mereka tidak tau bagaimana tersiksanya saat tidak ada Ibu atau Ayah disamping kita. Mereka tidak akan pernah tau bagaimana rasanya menjadi kita, tapi saya sangat paham." Nisa mengatur nafasnya yang mulai berat, tangisan Manda berhenti sesaat dan terdiam oleh tiap kata yang diucapkan oleh Nisa "Kamu boleh marah dan kecewa, kamu boleh menangis sepuasnya, menyalahkan orang-orang di sekitar kamu karena kejadian ini. Biarkan, luapkan emosi yang ada di dalam diri kamu sekarang." Nisa menunjuk dada Manda, dimana seluruh emosi yang tertahan berada.

Lalu Nisa tersenyum dengan lembut "Tapi kemudian, kamu harus kembali. Tidak ada batas waktu untuk bersedih, tapi kamu harus kembali, kamu harus meyakinkan diri untuk kembali pada diri kamu yang semula. Entah itu butuh waktu satu minggu, atau satu bulan, ataupun sepuluh tahun bagi kamu." Nisa mengelus bahu Manda yang lemah, air matanya turun dan bibir perempuan itu bergetar.

Manda menatap Nisa dengan mata sayunya yang masih basah. "Bagaimana kamu bisa sangat memahami ini?" Manda bergumam namun Nisa masih bisa mendengarnya

"Karna saya sudah merasakan ini lebih dulu."

***


All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang