Bagian 4 - Ilusi

163 17 0
                                    

Bagian 4 – Ilusi

Mata almond itu mengerjap-ngerjap perlahan. Pandangannya masih buram, kepalanya terasa sakit. Begitu juga dengan tubuhnya.

"Kamu sudah sadar, Fy?" suara berat itu semakin menyadarkan Ify.

Pandangannya masih menyisir tempat ia berada saat ini. Ruangan putih, dengan peralatan rumah sakit, dan tangannya di infus.

"Kamu di rumah sakit, Fy," ucap Rio seakan tahu apa yang ada dipikiran Ify.

Ify menghela napas, ia mengingat kejadian sebelum ia kecelakaan. Ia tersenyum miris. Benar-benar bodoh, hanya karena seorang Rio lagi-lagi ia melukai dirinya sendiri.

Ify beranjak dari tidurnya dan berusaha melepas infus ditangannya.

"Kamu mau apa, Fy?" tanya Rio bingung.

"Pulang!" jawab Ify ketus tanpa melihat Rio sedikitpun.

Tangan Rio menghalangi Ify melepas infusnya.

"Kamu masih harus dirawat, tubuh kamu masih sakit," bujuk Rio.

"Aku ga perlu di rawat. Aku baik-baik saja!"

Rio masih berusaha menghalangi Ify melepas infusnya. Kondisi Ify memang tidak parah, tapi ia harus tetap dirawat.

"Lepasin, Yo!"

"Kamu masih sakit, Fy,"

"Dari dulu aku memang sudah sakit, Yo! Apa peduli kamu!" telak. Ucapan Ify menohok hati Rio.

Rio terdiam menatap Ify. Kedua mata itu saling bersitatap. Mata indah yang menyimpan luka begitu dalam. Hati Rio seakan tercabik-cabik setiap melihat tatapan sedih itu.

Ify masih berusaha melepas infusnya. Tiba-tiba gerakannya terdiam saat Rio memeluknya dengan erat. Ify sempat terdiam, lalu kesadarannya kembali, ia meronta minta dilepaskan. Tetapi semakin ia memaksa, semakin erat Rio memeluknya.

Air mata Ify menetes begitu saja. Ya, dia rindu pelukan Rio. Ia rindu kehangatan yang diberikan Rio. Tapi bukan kehangatan palsu, bukan kehangatan hanya untuk mendamaikan hati Ify bukan.

Ify terisak. "Lepaskan aku, Yo," ucapnya dingin.

Rio tidak berkutik.

Dengan sekuat tenaga Ify mendorong tubuh Rio hingga laki-laki itu terjatuh.

Rio hanya bisa diam dengan reaksi Ify. Ini semua salahnya. Ini semua salah Rio.

Ruangan tiba-tiba lenggang. Tak ada suara. Mereka berdua terdiam. Ify menyeka air matanya, tidak ingin lagi ada tangisan.

"Lebih baik kamu pergi," ucap Ify memecah keheningan. Suara itu bergetar menahan tangis, namun tegas.

"Aku tidak mau pergi," jawab Rio.

Kali ini mata Ify menatap mata Rio dalam.

"Mau sampai kapan kebohongan itu kau lakukan, ha! Atau mau lihat aku lebih menderita lagi, baru kamu akan mengakhirinya?" Ify berdecak.

"Tidak ada kebohongan, Fy. Sampai kapan harus ku katakan. Aku tidak berbohong. Semua itu murni"

"Murni hanya untuk memperdayaiku? Pergi! Cinta sejatimu sudah menunggu diluaran sana!"

"Aku tidak akan pergi!"

Sampai kapanpun perdebatan itu tidak akan berakhir. Rio tahu Ify sangat marah padanya. Ia takut Ify membencinya, hingga cinta itu kalah akan rasa kebencian.

Rio rindu Ify yang penuh cinta, Ify yang sering merajuk, Ify yang periang dan selalu memberi kehangatan di setiap senyumannya. Entah kenapa bunga melati yang indah itu berubah menjadi bunga mawar yang penuh duri. Meski sama-sama indah, namun, duri itu menjauhkan Rio darinya.

Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang