Volley

382 12 4
                                    

"Aku mencintaimu, Ma," begitulah bisik dari putri kecilnya dulu yang tanpa ia sadari sudah tumbuh remaja. Sudah tau mana yang baik dan buruk, mana yang ia suka dan tidak. Mana yang membuat ibunya bahagia atau tidak. Putrinya itu bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudah ia minta menjadi apa yang diinginkannya.

Seperti halnya seekor anak burung, ketika ia sudah bisa mengepakkan sayapnya, lepas sudah ketergantunganya terhadap sang ibu. Tak ada lagi menyuapi anaknya ketika lapar, memeluknya ketika kedinginan di tengah malam, dan menjaganya erat ketika angin bertiup kencang menggoyangkan dedahanan. Seekor burung yang telah tumbuh dewasa pun berhak untuk mengepakkan sayapnya kemana ia mau.

Lolita hanya menatap pasrah keadaan rumahnya yang sepi. Rumah mewah dengan segala peraboitan rumah cantik dan impor kesukaannya, segala yang tidak ada di rumah-rumah lain tampak ada di rumahnya. Ia yang suka mengoleksi lukisan-lukisan mahal, juga guci dan vas mewah seakan membuat suasana rumahnya semakin mencekam. Semakin terasa mencekiknya kala semua itu hanya keramaian yang semu. Karena kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika keluarganya berada di satu tempat yang sama. Berkumpul seperti dulu.

Matanya terasa panas. Ia masih merasa tidak ada yang paham akan dirinya. Tidak ada yang tahu bagaimana isi hatinya yang sesungguhnya. Lolita tak lagi memaksa kehendaknya kepada Sivia, tak lagi meminta sivia melakukan apa yang ia minta. Ia membebaskan, asal anak itu tidak pergi darinya. Sudah cukup kakak Sivia dan suaminya pergi dari hidupnya. Tidak untuk Sivia.

****

Lapangan volley itu tampak lengang. Tidak ada seorang pun di sana, bahkan hanya ada angin yang berdesir mengangkat pasir-pasir di lapangan.

Ify mengembuskan napasnya. Menatap bola Volley yang ada di dekapnya dengan nanar. Ia sudah berganti pakaian olahraga untuk bersiap berlatih Volley. Namun, ia sendiri. Tidak ada yang mengajarinya. Bagaimana bisa ia belajar Volley? Padahal seminggu lagi ujian praktik sudah di mulai.

Ify melangkah menuju tengah lapangan. Menatap net yang tingginya melebihi dari tinggi tubuhnya. Ia sekali lagi mengembuskan napas, melepaskan bola Volley itu hendak berlatih. Kaki kanannya mundur sedikit, tangan kanannya mengepal dengan tangan kiri memegang bola. Tangan kanan itu mengayun pelan, tatapan matanya beralih antara bola dan net di hadapannya. Setidaknya bola itu harus melewati net itu bukan? Tangan kanan itu mengayun perlahan dan ...

"Ify!!" pekikan itu membuat tangan kanan Ify mengayun hampa. Ia mengerang kesal. Siapa yang dengan berani memecah konsentrasinya. Tinggal sedikit saja, bola itu melambung. Lagi-lagi Ify gagal.

Ia membalikkan badan menoleh ke arah suara. Mendapati Sivia yang berpakaian olahraga dengan bola Volley di tangan kirinya. Nyengir ke arah Ify.

"Kamu ngapain sih?" decak Ify kesal.

Sivia terkekeh "Sabarr. Jangan sensi dulu non Ify. Memangnya latihan Volley bisa sendiri aja?" nada Sivia terdengar menertawakannya.

Ify memberengut.

"Terserah aku," ucap Ify. Lalu balik menghadap net siap untuk berlatih lagi.

"Jangan marah ipi ku sayaang. Aku akan bantuin kamu. Yakin ngga mau?" goda Sivia.

Ify menoleh. Tatapannya penuh tanya.

Di bawah pohon di tepi lapangan, mereka duduk sembari mengamati dua bola yang tergeletak di hadapan mereka. Ify diam, Sivia juga. Lalu salah seorang di antaranya mengambil suara.

"Maafkan aku waktu itu. Sebenarnya..." Sivia mulai menceritakan kenapa ia tidak bisa mengajari Ify waktu itu. Kenapa ia menghilang akhir-akhir ini dan apa yang terjadi dengannya lebih detail serta perubahan pada mamanya.

Sesekali gadis itu menitikkan air mata, mengingat apa yang dialaminya. Namun diakhiri dengan senyum bahagia dan pelukan dari Ify.

"Aku minta maaf, Via," Bisik Ify.

Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang