Akhir Pekan!
"Fy, kamu nggak apa-apa?"
Ify berpeluk lutut. Menenggelamkan kepala di antara kedua tangannya. Bahu gadis itu bergetar kuat. Ia benar-benar menangis di Gazebo belakang sekolah, yang akhir-akhir ini menjadi tempat favorit Ify."Sudahlah, Fy. Jangan kamu sesali," Sivia merasa tidak tega melihat gadis di sampingnya seperti itu. Sebenarnya, masalah yang dihadapinya kali ini bukanlah masalah besar. Bisa dibilang hal sepele, tapi karena sudah berhadapan dengan masalah hati, itu membuatnya sangat sensitif.
Sivia mengusap pelan punggung Ify menenangkannya. Kemudian memeluk memberi ketenangan lebih untuk Ify. Tidak ada suara. Sivia membiarkan Ify menghabiskan tangis dalam dekapannya.
"Kenapa aku harus sebodoh ini, Vi? Kenapa?" nada suaranya tercekad.
"Kenapa aku ngga bisa Volly? Kenapa aku selalu kurang dalam olahraga, kenapa juga aku harus masuk sekolah ini? Kenapa? Kenapa seakan aku tidak pernah sempurna di matanya, dan kenapa seakaan takdir mempermainkanku? Kenapaaa!!!" Ify semakin terisak merutuki dirinya sendiri.
"Bukan takdir yang mempermainkanmu. Tapi dirimu sendiri. Ibarat sebuah kartu, saat kartu itu dibagikan itulah takdir yang kamu terima. Bagaimana kelanjutannya tergantung bagaimana kamu mempermainkan kartu tersebut. Menjadi pemenangnya atau bukan,"
Ify menatap Sivia penuh tanya. Sembari mengusap air matanya ia berkata "Kayak pernah denger kata-kata itu tapi di mana ya, Vi?"
Sivia mendelik "Ah, kamu mah dasar yaa lagi kek gini masih aja godaiin,"
"Eh seriusan, aku pernah tau kata-kata itu tapi lupa dari mana? Film atau apa ya?"
"Tau ah, Fy. Bye!" Sivia berlalu meninggalkan Ify dengan jengkel.
Dengan sisa air matanya Ify tertawa kemudian mengejar Sivia.
"Gadis cantik ndak boleh ngambek. Nanti ayam di depan kelas kita mati haha," goda Ify saat langkahnya menyamai langkah Sivia.
Sivia menggidik ngeri. Terbuat dari apa sebenarnya otak Ify?
****
Hari semakin sore, kemalasan terhadap siswa di jam-jam terakhir mulai kambuh. Suara bariton Pak Slamet guru Geografi tidak lagi masuk telinga kiri maupun kanan. Semua siswa sudah menguap, sudah membereskan buku-bukunya di dalam laci maupun di atas meja. Padahal jam pelajaran masih satu jam lagi.
Sivia menguap lebar-lebar, sedangkan gadis yang di sampingya tampak serius menatap ke papan tulis, di mana Pak Slamet menuliskan beberapa teori di sana. Ah bukan, dia bukannya serius memperhatikan ternyata sedang melamun.
"Fy.." panggil Sivia pelan. Tidak ada respons.
"Ify oh Ify," panggil Sivia lagi dengan bernada.
Karena geram tidak ada sahutan dari Ify, ia menyenggol tangan Ify yang menopang kepalanya sehingga kepala itu hampir saja teratuk meja.
"Arggh," Ify mengeram "Apaan sih, Via?" Ify mulai menggerutu.
Sedangkan sang pelaku hanya tertawa terkikik "Ada Rio di depan kelas," ucap Sivia. Ify spontan langsung menoleh. Namun, pintu kelas ternyata tertutup. Ify melotot semakin geram.
"Haha lagian pelajaran melamun. Mending aku, ngantuk memperhatikan daripada melamun tidak dapat apa-apa,"
"Tau ah, aku lagi pusing ini," keluh Ify.
"Pusing kenapa? Mikirin ga bisa Volly? Tenang aja, kamu masih punya waktu untuk belajar itu semua , Fy. Segala kehidupan yang ada di dunia ini tuh butuh proses. Proses Ify ku sayangg,"
Entah kenapa Sivia tahu isi dalam pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemeran Utama
FanfictionIni lebih menyakitkan dari sekedar backstreet. Saling mencintai namun sembunyi. Sedangkan aku, semua ini nyata, rasaku tidak sembunyi, aku memiliki raganya, tapi tidak dengan hatinya. Membisu tanpa tahu dimana hatinya terbelenggu. Ini lebih gila dar...