EMPAT

332 15 1
                                        

Hari - hariku sangat menyenangkan karena kehadiran Riksa. Tidak hanya tentang pelajaran, dia juga mengingatkanku waktu shalat dan makan. Aku merasa diistimewakan olehnya.

Jika ada pembagian kelompok belajar, aku selalu mengharapkan kelompok yang sama dengan Riksa. Dia memang menyebalkan jika menjadi partner kelompok, tapi gagasan - gagasan yang ia pikirkan selalu menarik buatku.

Mengapa menyebalkan? Bukan Riksa namanya jika tidak membuat orang - orang emosi. Aku membagi tugas masing - masing anggota kelompok. Awalnya semuanya setuju, begitu pula dengannya. Di malam hari dia mengirim pesan padaku, dia mengatakan bahwa ia sakit dan tugasnya ia serahkan padaku.

Aku menyanggupi permintaannya, karena kurasa berpikir ketika keadaanmu sedang sakit hasilnya juga tidak akan maksimal. Dia mengirim pesan itu sekitar jam sebelas malam.

Riksa: Kinar.. Bisakah kau yang membuat file powerpoint nya?

Kinar: Kenapa?

Riksa: Kepala ku pusing. Aku ingin istirahat.

Kinar: Kenapa tak kau katakan daritadi? Ini sudah sangat larut.

Riksa: Ayolah.. Jika kau membuatkannya, biarkan aku menjadi moderator besok.

Kinar: Tapi aku tak tau apakah semuanya akan selesai esok.

Riksa: Aku percaya padamu.

Seharusnya aku senang bukan? Dia lagi - lagi percaya padaku. Lalu aku membuat file powerpoint itu, hingga mataku betul - betul tak kuat menahan kantuk. Aku memutuskan untuk menutup laptopku pada pukul 00.30. Dan pekerjaanku masih belum rampung. Aku berencana menyelesaikannya di bus sekolah saja.

Keesokan harinya aku benar - benar mengoperasikan laptop di dalam bus. Kala itu Renja yang duduk di sampingku. Kulihat Riksa duduk di bangku paling belakang dengan headset menempel di kupingnya dan matanya terpejam. Apa dia belum sembuh? pikirku.

Ketika turun dari bus, file itu hanya memerlukan bagian penutup dan sedikit tambahan. Ku pikir Riksa akan menghargai usahaku ini. Tapi aku punya firasat yang kurang baik. Sesampainya di kelas, Riksa sudah duduk di bangkunya tepat di belakangku. Dia mengetuk bahuku.

"Ada apa?" Aku menoleh kearahnya.

Tangannya menggenggam sebuah flashdisk dan memberikannya padaku.

"Untuk apa?" maksudku, aku kan bawa laptop.

"Powerpointnya sudah jadi." dia terlihat sangat tenang saat mengatakannya.

"Tapi kau bilang kau sakit, Riksa"

"Aku berjaga - jaga"

"Kenapa tak bilang? Berjaga - jaga dari apa?Jika hanya berjaga - jaga, kau bisa saja mengirim filenya lewat email agar bisa kulanjutkan." nada suaraku masih rendah, Riksa menatapku lekat tapi dingin. Dia hanya diam.

"Kau tau jam berapa aku bisa tidur semalam?! Belum lagi memikirkan kemungkinan kau tak datang hari ini! Lalu mau diapakan file milikku jika ujung - ujungnya yang ditampilkan adalah punyamu?!" kini suaraku mulai meninggi dan aku memalingkan wajahku darinya.

Aku sungguh kesal. Tadinya ku pikir dia sungguh percaya padaku. Aku sangat mencemaskan kondisinya. Ku kira dia benar - benar tak bisa bangun untuk mengerjakan tugas itu. Tapi apa? Alih - alih dihargai, usahaku malah terasa diabaikan.

Dia berdiri dari bangkunya dan menghampiriku. Ku pikir dia akan membujukku. Tapi perkiraanku salah. Dia meletakkan flashdisk itu begitu saja di mejaku, lalu dia melangkah keluar kelas.

Kondisi seperti itulah yang sangat menyebalkan dari seorang Riksa. Kadang aku tak mengerti alur pemikirannya. Makna tatapannya, dan maksud dari kata - katanya. Sepanjang hari itu kami tidak berbicara sepatah katapun.

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang