Separuh memori yang hilang membuat Kinar tak pernah mengenal sosok itu. Ia bahkan tak lagi bisa merasakan hangatnya ikatan itu. Mungkin waktu yang dapat mengungkapnya. Atau mungkin Arka, matahari yang tanpa sengaja mengembalikan semuanya.
Kemarahan...
Sudah hampir dua menit ponsel melekat di telingaku tanpa satu patah kata pun yang terdengar dari seberang sana. Riksa mengangkat teleponku tapi tak bicara sedikitpun. Sesekali aku memanggil namanya tapi dia juga tak mau menyahut. Ntah apa yang terjadi dengan dirinya sekarang.
Aku tahu betapa terpukul perasaannya dengan kejadian yang mendadak ini. Sepengetahuanku, ayah Riksa memang sakit - sakitan, tapi tak satupun orang di kelas kami yang tahu betul tentang penyakit beliau.
Riksa seakan menutup rapat hal apapun yang berhubungan dengan keluarga ataupun hal pribadinya yang lain. Seperti anak itu memang tak ingin diketahui oleh dunia luar.
"Riksa, aku akan menutup teleponnya sebentar. Aku akan memberi tahu yang lain lewat grup chat, okey?" tanyaku meminta persetujuan Riksa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Baru saja aku akan menekan tombol merah, sepatah kata tertangkap pendengaranku, "Kenapa harus hari ini.."
Suaranya terdengar bergetar. Ku rasa dia menahan perasaannya. Bahkan ini bukan waktunya untuk dia bersikap seperti itu.
"Riksa, kau harus mengerti bahwa semua yang terjadi punya alasannya sendiri. Tenanglah, Riksa." Aku mencoba menenangkannya.
"Tak ada yang bisa membuktikannya... Alasannya.." suaranya masih bergetar dengan nada datar.
"Kau harus sabar. Tuhan punya rencana yang paling baik untuk kehidupan seseorang. Cobalah untuk berbaik sangka kepada-Nya." samar - samar aku mendengar suara Riksa yang terisak. Laki - laki itu menangis.
Dengan semua kejujuran yang aku miliki, aku dapat mengatakan bahwa aku sangat khawatir dengan keadaannya sekarang. Mendengarnya menangis membuatku semakin bisa merasakan kesedihan atas apa yang dialaminya. Tangisannya terdengar tertahan. Ku rasa dia tak mau aku tahu kalau dia sedang menangis.
"Jika kau mau, aku bisa menjadi pendengar yang baik untukmu. Ceritakan semua yang ingin kau katakan. Menangislah. Itu bukan tanda orang yang lemah. Aku di sini untuk mendengarmu, Riksa." setelah aku berkata demikian, Riksa melepas tangisnya.
Malam itu aku mendengarkan semuanya. Riksa bilang, bapaknya sudah sakit sejak lama. Komplikasi. Sampai sudah tak bisa duduk, apalagi berdiri. Dia juga bilang, dua minggu yang lalu dia sering tak naik bus sekolah karena harus mengantarkan bapaknya ke rumah sakit, jadi setelah itu ia naik angkutan umum ke sekolah. Aku ingat, tiga hari berturut - turut dia baru tiba di sekolah pukul 9 pagi.
Dari ceritanya, aku tahu dia sangat menyayangi dan mengagumi sosok bapaknya. Mungkin sosok itu juga yang menjadi inspirasinya untuk menjadi seorang arsitek, karena bapaknya juga adalah seorang arsitek. Sekarang aku mengerti alasannya masuk jurusan arsitektur meski ia tak suka menggambar.
Tanpa sadar air mataku ikut jatuh. Mungkin alasannya bukan karena terharu dengan tuturan Riksa. Tapi, karena tiba - tiba aku teringat ayahku. Beruntungnya Riksa bisa tinggal bersama bapaknya sampai beliau tutup usia. Berbeda denganku yang bahkan tak tahu bagaimana wajah ayahku.