"Hah?! Aku tak mengerti, Kin."Nada suara Arka terdengar bingung di seberang sana.
"Aku ingin bertemu beliau, Arka."
"Aku tak tahu bagaimana kabar Paman belakangan ini. Sudah seminggu kami tak pernah bertemu. Beliaupun tak pernah ke rumahku lagi." Tutur Arka.
"Ku mohon Arka. Bantu aku." Ini pertama kali aku meminta sesuatu kepada Arka sampai harus memohon.
"Baiklah, besok setelah pulang sekolah kita pergi. Aku akan bawa motor besok." Katanya, akhirnya mengabulkan permintaanku.
Aku menceritakan kepada Arka tentang apa yang ku temui siang tadi. Selembar resep dan nama ayahku yang menurutku beliau adalah Paman Badar yang Arka kenalkan. Sekali lagi aku menaruh harapan cukup besar dalam hidupku. Berharap ini adalah titik terang untukku bisa bertemu Ayah dan Ibuku.
Ku buka sekali lagi akta kelahiranku itu. Ku baca kembali dengan perlahan. Setelah nama Ayah, ada nama Ibuku. Arabella Lina Madelief. Namanya seperti nama orang Belanda. Cantik. Mungkin Ibuku memang cantik? Tapi mengapa aku tak ingat apapun tentang beliau. Alasan mengapa Ibu tak di sampingku hingga kini.
Tak berapa lama, terdengar seseorang membuka pintu kamarku. Itu Kakek.
"Kinar, Kakek akan kembali ke Amsterdam besok." Kata Kakek dari ambang pintu.
Aku yang melihat kedatangan Kakek buru- buru meletakkan akta yang ku genggam ke bawah bantal. Ku harap Kakek tak melihat tingkah gugupku.
"Ummm.. Benarkah? Rasanya dua minggu itu cepat sekali ya Kek?" Kakek hanya tersenyum.
"Dan jarang sekali Kakek sampai dua minggu ada di rumah." Kataku lagi.
"Yaahh.. Kakek hanya ingin melihatmu tumbuh secara langsung. Dan memperbaiki aksen Indonesia Kakek tentunya." Aku terkekeh mendengar penuturan Kakek. Kedengarannya aksen Dutch Kakek mulai samar setelah dua minggu di sini.
"Besok kamu ikut ke bandara ya? Pesawat Kakek berangkat pukul 5. Sepulang kamu sekolah kita berangkat dari rumah. Mau kan?" Tanya Kakek. Raut wajahku langsung berubah mengingat besok aku akan pergi dengan Arka.
"Kenapa? Tidak bisa?" Kakek memastikan.
"Tidak. Kinar bisa, Kek. Besok Kinar akan pulang naik taksi agar lebih cepat." Tukasku. Aku tak mau membuat Kakek kecewa. Tapi itu artinya rencanaku bersama Arka terbatalkan untuk yang kedua kalinya.
*
"Kinar!"
Aku menoleh ke belakang saat mendengar namaku dipanggil. Aku sudah tahu, itu Arka.
"Bagaimana?"
"Tidak bisa." Ucapku, lemas.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kakek akan berangkat ke Amsterdam nanti sore. Beliau memintaku untuk ikut mengantarnya ke bandara." Tuturku seraya terus berjalan menyusuri koridor sekolah.
"Tapi aku sudah bawa motor."
"Maafkan aku Arka. Ini di luar rencanaku."
"Mengapa tak memberi tahuku semalam?"
"Ponselku kehabisan baterai, jadi aku tak bisa memberi tahumu. Maafkan aku, sungguh."
"Ya, okee. Tapi Kinar, bagaimana kamu bisa yakin Paman Badar adalah Ayahmu?" kelihatannya ia mulai penasaran.
"Ntahlah, hanya tebakanku." Kataku masih dengan tatapan lemas.
"Ummm.. Masih ada hari esok, tak usah terburu - buru, Kin." Langkahku terhenti mendengar ucapan Arka. Lalu aku menatap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Bulan Jingga
Novela JuvenilSeparuh memori yang hilang membuat Kinar tak pernah mengenal sosok itu. Ia bahkan tak lagi bisa merasakan hangatnya ikatan itu. Mungkin waktu yang dapat mengungkapnya. Atau mungkin Arka, matahari yang tanpa sengaja mengembalikan semuanya. Kemarahan...