ENAM BELAS

26 5 1
                                    

Aku terbangun di sebuah ruangan. Tidak, aku tidak tahu ini dimana. Aroma khas dari sesuatu menyeruak di seluruh ruangan ini. Aku mengenalnya, aroma yang hangat ini.

Di ranjang berkerangka jati tua ini aku terbangun. Sudah lama sekali rasa hangat senyaman ini tak pernah ku rasakan.

KKKRRIIIIEEETTT....

Pintu di sudut ruangan ini terbuka. Menampilkan sesosok wanita berwajah Belanda yang cantik. Dia tersenyum ke arahku, dan berjalan menghampiri dengan nampan di genggamannya.

Oh tidak, sepertinya aku salah. Dia menghampiri anak kecil di sebelahku. Apa? Anak kecil? Aku baru menyadari ada seorang gadis kecil di sebelahku. Ia sedang tertidur pulas.

Gadis kecil itu terbangun menyadari kedatangan wanita itu. Wanita itu, yang ku yakini dia adalah ibu dari si gadis kecil, duduk di pinggir ranjang dan meletakkan nampan di nakas.

"Sarapan dulu ya, biar kamu cepat sembuh. Badannya udah dingin?" Ujar si ibu.

Gadis kecil itu mengangguk, dan ia membuka mulut saat ibunya memberi suapan bubur padanya.

"Oh iya, nanti kalo ayah pulang, Kinar mau dibawakan apa? Biar Ibu bisa kasih tahu Ayah."

Hah?! Apa pendengaranku sedang rusak atau beliau memang menyebut namaku, Kinar!

"Kin tak mau dibawakan apa-apa. Kin hanya ingin jalan-jalan bersama ayah dan ibu nanti sore." Jawab si gadis kecil, atau mungkin, aku?

"Jalan-jalan? Kemana?"

"Ke taman hijau yang saaaaangaaattt luas."

"Memangnya ada?"

"Ada Bu! Tadi waktu Kin mimpi, Kin pergi ke sana sama Ayah dan Ibu." Dengan penuh semangat dia bercerita tentang mimpinya.

Ketika aku melihat binar mata itu, aku sadar ada sesuatu yang dimiliki gadis kecil itu tapi tidak ku miliki. Dia, begitu banyak kasih sayang yang didapatnya. Hatinya sempurna, tak ada kekecewaan atas harapan yang dibuatnya.

Ku seret lututku hingga bisa ku peluk erat seraya menyaksikan momen ibu dan anak itu. Ku topang daguku dengan dekapan yang kubuat. Tanpa sadar, aku merasakan ada sesuatu yang membuat sudut mata kananku basah. Ya ampun! Aku menangis.

Entah sudah berapa lama aku di sini, menyaksikan setiap aktivitas yang dilakukan 'aku yang kecil'. Setelah acara sarapan pagi itu, ibunya pergi meninggalkan kamar dan 'dia' beranjak dari tempat tidur menuju sebuah peti.

Peti itu terisi penuh dengan berbagai macam mainan. Anehnya, aku melihat gerakan 'dia' yang sedang bermain itu seperti kilasan cepat sebuah film. Tak berapa lama aku melihat seorang nenek masuk ke kamar ini dengan membawa nampan makan siang. Setelah makan siang, semua terkilas lagi, seketika suasana disini menjadi sore hari.

Sekarang, gadis kecil itu sedang terlelap dalam tidur siangnya di sampingku. Aku tersentak tatkala mendengar knop pintu diputar. Dari balik pintu perlahan terdengar suara langkah kaki seseorang. Dan selanjutnya aku dikejutkan dengan penampakan seorang pria yang tak asing bagiku. Paman Badar. Ups! Ralat, maksudku, Ayahku!

"Kinar.." panggil beliau dengan lembut seraya membelai rambut gadis itu.

'Dia' mengerjap karena merasa tidurnya terganggu, "Ayaahh... Kin tadi sedang makan lolipop yang besaarr... Kenapa ayah bangunkaaann?? Lolipopnya jadi hilang..." rengeknya.

"He eh... Bukannya Kinar mau jalan-jalan ke taman? Kalau mau, kan' harus bangun dulu."

"Oh iyayaa... Kin haws handi dowoo" aku terkekeh melihat tingkahnya yang berbicara sambil menguap dan mengusap-usap matanya.

PRRAAANNNKKK!!!

Kami bertiga dikejutkan dengan bunyi benda kaca yang terjatuh.

"Badaarrr!! Tolong cepat kemari.." terdengar nenek berteriak memanggil ayah.

Spontan, ayah langsung berlari menuju sumber suara benda pecah tadi, yang ternyata berasal dari dapur.  Gadis kecil, oh maksudku diriku yang sedaritadi masih susah membuka mata, seketika langsung membelalak dan segera menyusul langkah ayah.

Mau tidak mau, akupun turut mengikuti langkah ayah yang tergesa itu. Aku terperangah ketika melihat sosok yang sudah tergeletak di lantai dengan darah mengalir di hidungnya itu. Dia adalah wanita yang ku lihat tadi pagi membawa sarapan ke kamar anaknya. Ya, benar, dia ibuku!

Ibu tergeletak tak sadarkan diri di lantai dapur dengan pecahan piring di sebelahnya. Di antara pecahan piring itu juga ada beberapa potongan kue. Dugaanku, sebelum terjatuh dan pingsan, ibu baru saja selesai memotong kue itu dan akan membawanya ke tempat lain.
.
.
.

Perlahan, ku buka mataku. Seberkas cahaya menelusup pupilku hingga aku sedikit memicing. Kuperhatikan sekitarku, aku tau, aku berada di kamarku sekarang. Entah berapa lama aku terpejam, tapi yang jelas sangat menggangguku sekarang adalah rasa penasaran. Tentang apa lagi kalau bukan tentang ibu. Ku ubah posisi tiduran ku menjadi duduk. Mengumpulkan tenaga untuk bangun dari tempat tidur dan bergegas ke lantai bawah.
.

Suara langkahku terdengar jelas di tangga kayu ini. Membuat siapapun yang berada di bawah sana menyadari bahwa ada seseorang yang akan datang. Ku dengar suara kursi di dorong diikuti suara langkah yang mendekat ke arahku. Itu nenek.

"Kinar, ada banyak yang harus kita bicarakan sekarang." Ujar nenek.

"Begitu juga Kinar, nek." Balasku.

Aku duduk di kursiku tanpa aba-aba. Nenek duduk di seberangku dengan kedua tangannya menelungkup di atas meja.

"Ada banyak alasan kenapa seseorang dijauhkan dari sesuatu." Kata nenek memulai cerita.

"Nenek ingin kamu memilih, ingin alasan baik terlebih dahulu, atau alasan yang terdengar sedikit jahat untukmu." Aku sedikit kaget mendengarnya. Apa maksud dari semua pilihan itu?

"Yang baik saja lebih dulu." Kataku pada akhirnya.

"Baiklah." Nenek memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih nyaman.

"Alasan baiknya, agar kamu berhenti meraung setiap malam memanggil-manggil kedua orang tuamu, yang nenek sendiri tidak tau kapan ayahmu akan pulang. Jadi, nenek dan kakek memutuskan untuk membawamu ke psikiater agar kamu di terapi."

"Tunggu sebentar, nenek hanya menunggu ayah? Bagaimana dengan ibu?" Aku memotong perkataan nenek. Dan ku lihat nenek menarik nafas panjang, dan ada seberkas mimik sedih di wajahnya.

"Arabella, ibumu, sudah meninggalkan kita malam itu, Kinar."
*
*
*
Aku minta maaf karena terlalu banyak mengumbar janji pada kalian, yang ternyata hanya sebuah harapan kosong. Mulai sekarang aku akan berusaha sebaik yang aku bisa. Aku harap kalian tidak bosan dan tetap menunggu cerita ini. Sekali lagi maaf untuk waktu yang terbuang lama.

Widyningrum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang