DUA

495 19 4
                                    

Akan kuceritakan sedikit tentang Riksa. Antariksa Zea Mahesa, itu nama lengkapnya. Pertama kali aku melihatnya di hari pertama pengenalan sekolah. Dia berada di urutan belakang barisan di sebelahku. Hari itu aku sangat jenuh dengan semua kegiatan pengenalan yang diselenggarakan sekolah kejuruan ini. Rasanya ingin pulang saja dan berbaring seharian di kamarku. Aku berusaha menghapus kejenuhanku dengan mengarahkan penglihatanku ke segala arah di sekitarku, hingga aku menangkap seorang cowok yang berdiri dengan tenang mendengarkan pengarahan. Hanya dia yang sepertinya sangat memperhatikan arahan ketua OSIS di depan.

Perawakannya yang tinggi dan wajahnya yang teduh dan manis sangat menarik perhatianku. Aku terpaku pada bola mata hitamnya yang indah. Dari hari yang panjang ini akhirnya aku punya alasan untuk betah berlama - lama berdiri di sini. Aku sangat penasaran padanya. Ku lihat papan nama yang bergantung di lehernya, 'Antariksa Zea Mahesa', nama yang unik menurutku. Saat itu aku sangat beharap berada di kelas yang sama dengannya. Ntah itu kelas Arsitektur 1, 2, atau bahkan 3, aku ingin ada dia di dalamnya.

Beberapa menit tatapanku terpaku padanya, hingga ia menyadari bahwa ada mata yang sedang memperhatikannya. Aku terkejut saat ia memergokiku, aku langsung mengalihkan pandanganku kembali ke depan setelah sebelumnya condong ke belakang. Oh shit! Sekarang dia akan berpikir bahwa aku gadis yang aneh, pikirku kala itu.

Masa orientasi berakhir setelah tiga hari. Hari itu adalah hari penentuan kelas. Dan lagi - lagi aku benar - benar berharap Riksa masuk kelas yang sama denganku. Aku menunggu dengan tak sabar. Daftar nama yang masuk di kelas 10 arsitektur 1 sudah selesai dibacakan. Tapi tidak satupun diantara aku dan Riksa yang termasuk di dalamnya. Selanjutnya 10 Arsitektur 2.

"Antariksa Zea Mahesa.", terdengar suara bapak berkacamata itu memanggil Riksa untuk membuka barisan di 10 Arsitektur 2.

Oh God, ku mohon masukkan aku di Arsitektur  2, dadaku sungguh berdebar. Beberapa murid telah berbaris di belakang Riksa.

"Kinar Arumi senjatama", Serius bapak itu memanggil namaku.

"Iya, Saya!"

"Berbaris di sana.", Bapak itu sedikit mengangkat kepalanya karena hanya aku yang menjawab panggilannya tanpa  langsung bergegas jalan.

"Oh, ya. Tentu saja.", Aku sangat bersemangat karena aku sekelas dengan Riksa.

Aku berdiri di belakang seorang cowok teman sekelasku. Beberapa orang memisahkan posisiku dan Riksa. Tak berapa lama ternyata teman satu SMPku, Renja juga masuk di kelas ini. Dan hari itu kupikir masa putih abu-abu ini akan sangat menyenangkan.

*

30 menit berlalu dan aku kembali membuka mataku setelah mendengar bisikan di telingaku.

"Bangunlah, kau pasti tak ingin supir bus itu membawamu pulang ke rumahnya."aku melirik ke arah samping.

"Oh Ya Tuhan! Riksa! Perhatikan jarakmu!" wajahnya benar - benar berada di depan telingaku membuatku sedikit menjauh.

"Ayolah, harusnya kau berterima kasih lagi padaku. Lihatlah embun yang kau ciptakan di jendela itu." ia terkekeh seraya menunjuk jejak nafasku di jendela bus itu.

Aku memalingkan wajahku darinya. Ntah bagaimana wajahku terlihat saat sedang tidur tadi.

"Kau, minggirlah. Aku mau keluar dari bus ini!"perintahku dengan kesal padanya.

"Ooowwww, apa kau tak berpikir untuk melihat galeri ponselku, Kinar?" ia menunjukkan ponselnya pada ku seperti dia telah mendapatkan sesuatu.

"Memangnya apa yang harus ku lihat?"

"Menurutmu?" dia tersenyum menggodaku.

"Ayolah, aku serius."

Kini senyumnya semakin lebar. Lalu aku terdiam sejenak.

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang