Ku usap mataku berulang kali, memastikan bahwa itu memang ayahku. Dan memang benar, itu beliau. Ekspresiku yang semula datar berubah menjadi sumringah melihat pria yang aku yakini adalah ayahku.
Baru saja aku hendak lari menghampiri Ayah, namun tiba - tiba Nenek menarik pergelangan tanganku.
"Ayo Kinar, itu taksi kita." Aku menoleh ke arah taksi yang ditunjuk Nenek.
"Tunggu, Nek. Kinar ingin..." Ku kembalikan arah pandanganku ke tempat Ayah berada. Tapi Ayah tak lagi berdiri di sana. Beliau menghilang.
"Ingin apa? Ayo cepat masuk, sebentar lagi maghrib." Aku hanya menuruti perkataan Nenek. Sinar di mataku seketika lenyap karena lagi - lagi harapanku pupus.
*
Aku duduk termenung di ranjangku dengan buku tentang bibliografer terbuka pada halaman 41 memperlihatkan foto seseorang berkebangsaan Skotlandia. Tadinya ku kira dengan membaca sebuah buku akan mengalihkan pikiranku dari hal yang membuatku gundah. Tapi ternyata tidak juga, wajah Ayah tadi masih terlintas di pikiranku.
Dan kini aku hanya terduduk dengan pandangan kosong mengacuhkan buku yang tadi sempat membuatku tertarik. Dering ponselku membuatku terkejut dan sedikit terlonjak. Ku raih ponselku yang ada di nakas. Ada nama Arka di sana.
"Halo."
"Hai Kinar. Kamu baik - baik saja?"
"Ummm... Ya sepertinya begitu."
"Mau tahu sesuatu?"
"Apa?"
"Paman Badar di sini."
Mataku membulat mendengar ujaran Arka barusan. Ku turunkan ponselku dan membungkam mulutku dengan tangan. Ini kesempatanku, aku akan kesana!
"Halo? Kin?", mendengar suara Arka yang masih tersambung dari sana, aku kembali mengangkat ponselku.
"Oh, ya Arka! Aku sedang bersiap."
"Jangan bilang kamu mau kesini. Ini sudah malam, kamu mau naik apa?"
"Persetan dengan kendaraan! Apapun caranya aku akan kesana sekarang."
Segera ku tutup telepon dari Arka dan membuka aplikasi ojek online. Tinggal menunggu sebentar dan sedikit lagi aku akan bertemu Ayah. Segera ku raih jaketku yang tergantung di belakang pintu dan bergegas keluar dari rumah.
Satu hal yang tak terpikir olehku sebelumnya. Nenek. Aku bingung bagaimana cara meminta izin beliau untuk keluar rumah pada waktu selarut ini. Ketika kakiku tinggal selangkah lagi menuruni tangga, aku melihat ruang tamu dan dapur sepi, tak ada Nenek disana. Nenek pasti sudah hampir tidur di kamarnya, pikirku.
Maka, aku sedikit berjingkat ketika berjalan melewati kamar Nenek. Ku hela nafas lega saat berhasil melewatinya. Pintu Nenek tertutup rapat. Dan disinilah aku sekarang, di depan pintu ruang tamu yang terkunci. Sial! Aku lupa dengan kuncinya. Kunci itu tergantung di dinding dekat tangga. Itu membuatku harus kembali berjingkat mengambil kunci.
Di tengah - tengah langkahku yang sedikit lagi mendekati kunci, ponselku berdering. Oh Tuhan! Tak bisakah kali ini saja keberuntungan memihak padaku?!. Ternyata itu panggilan dari driver ojek yang ku pesan. Ku matikan panggilan itu.
"Kinar?", suara Nenek terdengar dari dalam kamarnya.
Segera ku ambil kunci yang tergantung di dinding dan berlari ke arah dapur untuk sembunyi. Aku bersembunyi di samping lemari piring yang untungnya cukup untuk menyembunyikan tubuhku.
Ku dengar suara pintu kamar Nenek dibuka berikut suara langkah Nenek. Dan suara langkah itu terhenti. Kira - kira dua puluh detik kemudian langkah Nenek terdengar kembali disusul suara pintu yang tertutup. Ku rasa Nenek kembali masuk ke dalam kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Bulan Jingga
Teen FictionSeparuh memori yang hilang membuat Kinar tak pernah mengenal sosok itu. Ia bahkan tak lagi bisa merasakan hangatnya ikatan itu. Mungkin waktu yang dapat mengungkapnya. Atau mungkin Arka, matahari yang tanpa sengaja mengembalikan semuanya. Kemarahan...