SEMBILAN

147 11 20
                                    

Riksa POV.

Siang itu syaraf sekitar mataku tak memberi toleransi untuk membiarkan kelopaknya membuka. Meja dihadapanku seakan mempunyai magnet yang menarik kepalaku untuk melekat di sana dan memejamkan mata.

Pelajaran sejarah memang selalu membuatku mengantuk. Apalagi ketika guru di depan sibuk bercerita panjang lebar tentang kejadian di masa lampau seperti siang ini. Angin dari kipas yang menggantung di plafon semakin menambah godaan untuk terlelap. Dan akhirnya mataku tertutup rapat.

Pikiranku mulai mengawang ke alam mimpi, terlintas kejadian - kejadian yang menurutku indah. Suara Pak Sultan yang sibuk bercerita tak lagi tertangkap oleh pendengaranku. Yang kurasakan hanya angin sepoi sepoi yang mengalun tenang mengenaiku yang sedang bersandar di bawah pohon.

Di saat sedang menikmati suasana yang sejuk itu, tiba - tiba aku merasakan ada yang mengetuk ubun - ubunku berulang kali. Mataku membuka, dan aku terlonjak mendapati wajah Kinar berada di hadapanku. Aku tahu kini wajahku tengah memerah.

"Huuuffff... Akhirnya kau bangun juga. Mau sekelompok denganku?" tanyanya sambil menjauhkan pena yang ia gunakan untuk mengetuk kepalaku.

"He? Kelompok apa? Mana Pak Sultan?" Aku balik bertanya seraya bergantian memandang Kinar dan meja guru.

"Sudah pergi, jam mengajarnya sudah habis."

"Dia tak tahu aku tertidur?" Kinar hanya menaikkan bahunya.

"Ku rasa, kalaupun dia tahu dia takkan membangunkanmu. Tapi dia akan menandai wajahmu, Riksa." ujarnya.

"Jadi, kau mau sekelompok denganku atau tidak? Semuanya sudah punya kelompok, hanya aku yang belum." tanyanya sekali lagi. Aku tidak tahu mengapa, tapi kepalaku langsung mengangguk.

Aku meraih botol minumku di sudut meja dan mulai meneguk air yang ada di dalamnya.

"Siapa saja anggotanya?" ucapku di sela - sela waktu minum.

"Ya ampun. Berapa lama kau tidur? Ini tugas untuk dua orang!" ujarnya yang reflek membuatku tersedak dan sedikit terbatuk.

"Hah?! Kau pasti bercanda."

"Ck! Kau pikir aku ingin sekelompok denganmu? Sama sekali tidak. Tapi aku terlambat mendapat teman karena harus membantu Pak Sultan mengantar proyektor ke ruang guru." keluhnya. Tapi ini kesempatan bagus bukan?

"Ooh, ok. Lalu, apa tugasnya?" tanyaku.

Dia lalu memberikan catatannya padaku. Ternyata tugasnya adalah memahami kisah yang tersirat pada tugu - tugu bersejarah yang ada di kota kami. Tidak boleh menggunakan internet, jadi kami harus mendatangi tempat - tempatnya secara langsung. Tunggu sebentar... Mendatangi? Itu artinya aku akan pergi dengan Kinar!

Demi apapun yang ada di dunia ini, aku senang setengah mati! Aku ingin melonjak dan berteriak 'YES!'. Ini kesempatan yang tidak datang dua kali dalam hidupku. Meskipun begitu, aku tak bisa mengekspresikannya secara langsung, Kinar pasti akan memandangku dengan pandangan yang aneh.

"Riksa!" refleks aku menoleh ke arah Kinar.

"Ya ampun. Setan apa yang merasukimu? Apa suaraku yang sedekat ini tak dapat kau dengar?" tanyanya.

"Hah? Ya, ya.. A a aku mendengarmu." dustaku, aku tak mendengar panggilannya.

"Lalu kenapa telingamu memerah?" tanyanya lagi. Tanganku langsung meraih daun telingaku.

"Ah sudahlah. Kau memang aneh. Oke, ku tanya sekali lagi, tempat mana yang akan kita datangi lebih dulu?". aku kembali mengumpulkan fokusku memikirkan tujuan kami.

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang