Separuh memori yang hilang membuat Kinar tak pernah mengenal sosok itu. Ia bahkan tak lagi bisa merasakan hangatnya ikatan itu. Mungkin waktu yang dapat mengungkapnya. Atau mungkin Arka, matahari yang tanpa sengaja mengembalikan semuanya.
Kemarahan...
"Kinar, ingatlah bahwa ayah dan ibu selalu ada di sini. Di samping bulan saat kamu tidur, dan bersama matahari saat kamu membuka mata."
*
05.00 AM.
Aku membuka mataku setelah mendengar alarmku berdering. Aku mendengus kesal mengingat mimpi yang aku saksikan ketika tidur tadi. Semuanya gelap dan hanya suara lembut itu yang dapat ku dengar. Suara siapa itu? dan apa maksud dari kalimat itu. Ayah? Ibu? Yang benar saja, aku tak pernah lagi bertemu mereka, bahkan wajah merekapun tak pernah terbayang di pikiranku, dan tentu saja aku tak mengetahui keberadaan mereka sekarang. 17 tahun aku bernafas dan aku tak bisa mengingat bagaimana halusnya belaian ibu atau hangatnya pelukan ayah. Dan ku rasa, aku tak percaya cinta mereka itu nyata.
Tok.. tok.. tok..
Suara ketukan itu membuyarkan kekesalanku. Aku yakin itu pasti nenek. Ia mengetuk untuk membangunkanku.
"Kinar, ayo bangun, mandi, lalu sarapan. Nenek membuat pancake kesukaanmu." dapat ku dengar seruan nenek dari balik pintu.
"Iya, Nek. Kinar sudah bangun, sebentar lagi Kinar turun." aku menjawab seruan nenek.
Terdengar derap langkah nenek menjauhi pintu kamar ku. Ku ubah posisiku yang tadinya terbaring menjadi duduk, mencoba membuat pikiranku fokus. Setelah merasa tubuhku sadar sepenuhnya, akupun berdiri dan berjalan mengambil handuk untuk selanjutnya ku bawa ke kamar mandi. Dan akupun mandi lalu sarapan.
Nenek menggelengkan kepalanya melihat kebiasaanku yang selalu membawa ensiklopedia saat sarapan. Menurutku ini membantuku untuk menghabiskan sarapanku lebih cepat. Dan ensiklopedia tentang alam itu selalu menarik untukku.
"Kinar, fokuslah pada makananmu. Nanti saus pancakemu mengenai rok seragammu!", nenek memperingatkanku.
"Tidak, Nek. Sausnya bahkan sudah hampir habis. Apakah Nenek tahu? Ternyata orbit bulan merupakan satu - satunya yang betul - betul hampir bulat! Padahal berat utama bulan terletak lebih dekat 6000 kaki daripada pusat geometrisnya. Yang harusnya justru mengakibatkan orbit lengkung.", Aku sedikit mengalihkan perhatian nenek pada apa yang baru saja ku ketahui.
"Yaahh baiklah. Tapi bahkan sekarang bulan tak lagi menampakkan wujudnya. Lihatlah, matahari sudah semakin tinggi. Tutup bukumu dan selesaikan sarapanmu. Bus sebentar lagi tiba.", reflek, aku melihat ke arah jendela. Dan ya! Bus sudah hampir tiba.
"Umm.. Oke, aku berangkat Nek. Nanti aku akan membawa anthurium yang baru ketika pulang, maaf Kinar merusak anthurium putih nenek." ku tutup bukuku dan bergegas meninggalkan rumah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Oh, kamu benar - benar bertanggung jawab." Dapat ku lihat senyum nenek mengembang.
*
Aku masuk ke dalam bus, dan sialnya hanya satu tempat duduk lagi yang tersisa. Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang membosankan karena aku duduk di samping Riksa. Riksa itu teman sekelasku, duduk tepat di belakangku. Dia pintar, tapi menyebalkan. Aku heran kenapa dulu aku sempat tertarik padanya sebelum aku mengenal Arka.Cukup bagiku menjadi kaku karena duduk di depan mejanya di dalam kelas. Tapi pagi ini kenapa dibus juga? Mau tak mau aku harus duduk di sana.
"Aku juga tak ingin duduk di sampingmu, tapi tak ada lagi bangku yang kosong. Jadi tolong kau diam saja." Aku cepat - cepat berkata demikian karena kulihat wajahnya mulai masam dan dia ingin membuka mulut untuk protes.
Ntah kenapa, tapi rasanya mataku sangat berat untuk terbuka. Sesekali kepalaku terkulai karena tak kuat menahan kantuk. Aku menyesal tidur terlalu larut tadi malam.
"Hoy! Kau jangan modus seperti itu hanya untuk bersandar padaku. Lebih baik kau yang duduk di tempatku dan bersandar di jendela. Aku tak rela membiarkan bahuku pegal karena kepalamu.", Riksa benar - benar membuatku terkejut.
"Berdirilah, aku yang akan duduk ditempatmu!", Aku hanya menuruti perkataannya tanpa komentar. Karena kurasa itu ide bagus.
"Terima kasih."Ucapku.
"Apa?! Aku tak bisa dengar."
"Kubilang terima kasiiih!"
"Ku kira kau tak tau kata - kata seperti itu." dapat terlihat senyum mengejek di wajahnya.
"Kau pikir aku sepertimu?! Kau bahkan tak pernah bisa mengekspresikan perasaanmu dengan baik!"
"Hah?! Kau bicara padaku?"
"Ck, sudahlah.", aku bergumam kesal.
Kelihatannya ini adalah perjalanan yang panjang untuk sampai ke sekolah.