TIGA BELAS

102 10 4
                                    

Baru beberapa tahun aku merasakan hadirnya seorang ibu, walaupun bukan ibu yang sebenarnya, dan sosok itu pergi dengan cepat sampai aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu berharga untuk yang kedua kalinya.

Walaupun begitu aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena telah mengirimkan orang - orang baik dan tulus menyayangiku seperti Vero dan Uminya. Kenangan manis yang mereka ciptakan akan selalu aku ingat sampai kapanpun.

Di hari terakhirku di sekolah dasar itu, Vero menyampaikan kabar tak enak itu padaku. Saat dia bilang akan ke Jerman, ku pikir itu hanya berlangsung selama liburan. Jadi aku tak menyiapkan apapun untuknya.

"Kinar, dua hari lagi aku dan Umi akan ke tempat Abi."

"Ke Jerman?" Tanyaku.

"Iya, berangkatnya sore naik pesawat." Tutur Vero.

"Waahh.. Kalau kamu pulang, ceritakan ke aku ya bagaimana Abi kamu sekolah di sana." Ucapku dengan mata bersinar. Vero tersenyum lama ke arahku.

Lalu ia hanya mengangguk. Dan hari itu, hari perpisahan di sekolah, aku menghabiskan seluruh waktuku bersama Vero sahabatku. Satu hal yang aku sesali di hari itu. Aku dan Vero tak pernah berfoto bersama.

Ketika akan pulang ke rumah, aku melihat Vero menangis sebelum ia masuk ke mobilnya. Uminya berusaha menenangkannya dengan menyeka air mata di pipinya. Aku memperhatikannya dari jauh. Aku ingin mendekat, tapi takutnya malah seperti mencampuri urusan pribadi Vero. Dan aku mengurungkan niat itu sampai ku lihat mobil Vero pergi menjauh.

*

Sudah dua tahun setelah hari terakhir perjumpaanku dengan Vero. Aku selalu menunggunya datang ke rumah setiap setelah selesai libur panjang sekolah. Karena dulu Vero selalu datang di hari - hari itu. Sampai di hari ini aku baru menyadari, kala itu adalah hari terakhir aku bisa bersenang - senang bersamanya.

Aku duduk di sofa ruang tamu sambil termenung. Memikirkan alasan Vero tersenyum saat aku memintanya menceritakan tentang sekolah Abinya di Jerman. Memikirkan alasan mengapa ia menangis sebelum ia masuk ke dalam mobilnya.

Apakah karena ia tak sanggup untuk berpamitan makanya ia hanya tersenyum dan mengangguk? Apakah karena ia tak ingin berpisah makanya ia menangis sebelum masuk ke dalam mobil? Mengapa aku selalu seperti ini? Menyadari semuanya di saat semua itu sudah berlalu.

Dan bodohnya aku hanya mempertanyakan tentang Jerman yang akan dikunjungi Vero. Bukannya bertanya kapan ia akan pulang dan kembali bersenang - senang bersamaku. Bukannya menyiapkan sesuatu sebagai kado kenang - kenangan dalam kurung waktu dua hari sebelum Vero dan Uminya berangkat ke Jerman. Pantas saja ia memberi tahuku bahwa ia akan berangkat dua hari lagi, agar aku bisa menjadikan dua hari itu sebagai hari berharga.

Mungkin Vero ingin aku datang ke rumahnya di dua hari itu. Sebab, sejujurnya hanya Vero yang sering main ke rumahku, tapi aku sama sekali tak pernah melakukan hal setimpal. Sahabat macam apa aku? Aku hanya memikirkan bagaimana Vero membuatku merasa senang dan terhibur, dan tak pernah berpikir bagaimana cara menyenangkan hatinya. Maka, pantaslah aku ditinggalkannya dengan cara seperti ini.

Aku diam mengamati toples - toples yang berjajar di atas meja di hadapanku. Toples - toples itu berisi kukis dan permen yang sangat digemari Vero saat ia berkunjung kemari. Dan aku mulai menangis melihat dua gelas berwarna merah muda dan hijau yang berisi sirup coco pandan di samping toples - toples tadi.

Terbayang di pikiranku ketika kami menyesap sirup itu bersama - sama. Dulu, ada sedotan yang menghiasi gelas itu. Tapi, Vero tak menyukainya, jadi dia mengeluarkan sedotannya dan meneguk langsung dari gelas. Melihat tingkah sahabatku yang demikian, akupun menirunya dan kami berlomba siapa yang paling cepat menghabiskan sirupnya.

Dan, Vero tak pernah menang, dia selalu mengalah agar aku yang menang. Aku selalu bersorak "Yeee.. aku menaang!!" setelah gelasku kosong. Lalu kami tertawa bersama. Tak ada sahabat yang lebih baik daripada dirinya.

Tanganku berusaha meraih salah satu toples yang ada. Memutar tutupnya agar terbuka. Aku mengambil satu kukis dari dalam toples itu, kukis coklat kismis kesukaan Vero. Ku pandangi kukis itu, teringat bagaimana cara Vero mencomoti kismisnya dan memakannya lebih dulu, setelah tak ada kismis yang tersisa barulah ia melahap kukisnya.

Aku berpikir, apakah ia sengaja melakukan cara - cara tak biasa itu agar aku selalu mengingatnya?

*

Back to now...

Aku tengah merapikan lemari bukuku yang berserakan. Mencari file gambar lama yang aku simpan sangat rapi. Sangat rapi hingga aku tak dapat menemukannya kembali sekarang. Aku membutuhkan file itu untuk mempelajari ulang materi gambar di kelas sepuluh lalu karena sebentar lagi Ujian Kompetensi Kejuruan akan dilangsungkan.

Ketika tengah memeriksa sebuah map, ada selembar kertas yang terjatuh dari dalam map itu. Aku mengambil kertas itu. Ah, ralat, ini bukan kertas, tapi sebuah amplop. Amplop berwarna kuning yang cukup mencolok.

Ku lihat bagian depan dan belakang amplop itu, tak ada tulisan apapun yang tertera di sana. Amplop itu di beri perekat. Aku meletakkan map yang masih ada di pangkuanku lalu berdiri. Aku hendak menanyakan pada Nenek, kemungkinan amplop ini milik beliau. Selangkah, dua langkah, aku berhenti dan berpikir. Sebaiknya aku buka lebih dulu saja amplop ini. Rasa penasaranku pun muncul.

Ku buka dengan perlahan amplop itu agar isi di dalamnya tak rusak. Ku keluarkan isi amplop tersebut. Isinya adalah sebuah surat. Ah, bukan, ralat lagi. Ini adalah... resep? Ya, ini adalah resep. Kertas resep yang sepertinya telah mengalami beberapa kali perubahan. Aku mengatakan demikian, karena terlihat coretan dimana - mana. Nama bahan - bahan dan takarannya banyak sekali yang mengalami perubahan.

Tak tertera judul dari resep itu. Tapi jika dilihat dari bahan pertama yang ditulis, siapapun tahu ini adalah resep membuat kue. Ya, bahan yang paling atas tertera adalah tepung gandum. Lalu aku membaca deretan tulisan yang ada lebih lanjut.

"Gula palem?" gumamku. Nah, jelas sudah ini resep apa.

Ontbijtkoek, tentu saja. Tapi, kenapa ada di sini? Aku mengambil kembali map yang aku letakkan tadi. Map itu berisi selembar akta kelahiran milikku. Sebelumnya aku tak pernah benar - benar membaca tulisan di kertas itu. Aku terlalu cuek untuk ingin tahu apa yang tertera di sana.

Dan hari ini juga sama, aku tak tertarik membacanya. Ku tutup kembali map itu, namun selintas aku membaca sesuatu.

"Galih Badar Senjatama." Itu nama ayahku yang tertera di sana.

Tapi, kelihatannya aku sering mendengarnya belakangan ini. Ontbijtkoek, dan ayahku, Galih Badar Senjatama. Badar? Paman Badar?

Aku terduduk dan map yang aku genggam terjatuh ke lantai. Mungkinkah? Ayahku adalah Paman Badar yang Arka kenalkan padaku?

*

*

*

PBJ memasuki permulaan klimaksnya yaa..

Saya butuh saran dan komentar para readers tentang cerita yang saya publish ini. Ringanin jari - jarinya dong buat komen bentaaarr aja di part ini. Ntah itu saran untuk alur, karakter tokoh - tokohnya, apa aja deh. Saya sangat terbuka untuk semua pendapat readers. Untuk yang sudah vote dan komen, terima kasih banyak ya. Saya sangat menghargai kalian.

NB: saya publish karya baru, judulnya 'CATATAN SAJAK'. Silahkan dilihat - lihat, hehehe.

Salam,

Widyningrum.

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang