DUA BELAS

118 12 0
                                    

Flashback...

Jika kamu adalah gadis kecil berusia sembilan tahun, apa yang akan kamu lakukan di saat menghadapi kondisi sepertiku?

Aku masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar kala itu. Apa pendapatmu tentang tanggal dua puluh dua Desember? Menyenangkan ketika kalian menarik tangan ibu kalian dari gerbang sekolah menuju tempat duduk istimewa menghadap panggung pertunjukan di sekolah. Bisa bernyanyi, berpuisi, bercerita, mengucapkan terima kasih, bahkan memberi setangkai bunga untuk satu orang yang dipanggil 'Ibu'.

Semua temanku memperlihatkan kemampuan terbaiknya pada hari itu. Tampil penuh percaya diri dan dihiasi dengan senyum gembira dan bangga. Disambut dengan tepukan tangan paling keras dari ibu mereka yang berdiri, bahkan menangis terharu atas apa yang telah teman - temanku itu lakukan.

Lalu, bagaimana denganku? Dimana aku saat semua itu berlangsung? Apakah aku datang ke sekolah di hari itu? Ya, aku hadir, tapi dengan pemandangan berbeda dari teman - teman sebayaku.

Aku juga melakukan hal yang sama, aku bernyanyi di atas panggung di hari itu. Aku juga menari mengikuti irama di saat semuanya menari. Sudah tiga tahun di sekolah dasar, aku selalu berpartisipasi dalam acara ini. Yang aku inginkan hanya satu. Aku ingin satu keajaiban. Aku hanya ingin di suatu 'dua puluh dua Desember' ada seorang wanita yang akan berdiri untukku, bertepuk tangan, dan menangis haru bahagia di tempat duduk istimewanya karena melihat aku berhasil menyanyikan lagu 'Terima Kasih Ibu'. Memelukku saat aku berlari turun dari panggung, dan mengatakan "Kamu berhasil! Kamu hebat! Anak Ibu yang terbaik! Terima kasih, Nak."

Aku juga ingin memberikan setangkai mawar, menciumi wajah ibuku, merasakan hangatnya pelukan ibu. Tapi, itu hanya berakhir pada kata 'Seandainya'. Pada kenyataannya, keajaiban itu tak pernah terjadi padaku. Wajahku yang semula sama cerianya dengan teman - temanku saat bernyanyi dan menari, berubah menjadi tempat bagi air mataku untuk mengalir di akhir pertunjukan. Mataku selalu mencari, mencari kehadiran sosok yang akan mengisi satu kursi di antara semua ibu yang hadir. Meskipun aku tahu, kursi itu takkan pernah terisi oleh siapapun.

Kala itu aku punya seorang teman. Dia sangat suka berbuat jahat padaku. Namanya Dio. Mungkin hatinya takkan senang bila tak mengusikku walau hanya sehari. Tak terkecuali di hari itu. Sungguh kata - katanya masih teringat hingga aku remaja.

"Kinar, kenapa kamu datang?" tanya Dio yang menghampiriku di belakang panggung.

"Tentu saja untuk bernyanyi dan menari, aku sudah tak sabar." ucapku dengan penuh semangat dan gembira.

"Kamu seharusnya tak perlu datang."

"Kenapa?" tanyaku dengan wajahku yang polos.

"Kita bernyanyi dan menari untuk dilihat oleh Ibu. Memangnya kamu punya Ibu?" dia mulai menyulut api padaku.

"Tentu saja aku punya. Ibuku pasti datang. Kamu lihat saja nanti!" aku berteriak padanya.

"Kamu yakin? Ibuku bilang, kamu itu tak punya Ibu. Makanya setiap menerima rapor dan di Hari Ibu, Ibumu tak pernah ada." ucap Dio

"Ibuku juga bilang, dia datang hari ini karena dia sangat menyayangiku. Apakah ibumu sayang padamu? Kelihatannya tidak, Kinar." dia menutup kalimat ejekannya itu sambil tertawa terbahak - bahak.

"Tidaakkk!!! Nanti ibuku datang! Dia sayang padaku! Aku punya Ibuu!! Hhhuuwwwaaa" aku menangis dihadapannya sambil terus mengatakan bahwa ibuku pasti datang.

Tangisanku itu malah membuat tawa dan ejekan Dio semakin menjadi - jadi, "Kinar tak punya Ibuuu.. Hahahahaha... Ibunya tak sayang padanya.. Hahahahaha.. Kasihan ya kamu." semakin kuat aku menangis semakin kuat juga Dio tertawa. Sampai akhirnya Bu Aya, walikelasku datang untuk mendiamkan kami berdua. Tadinya, Ku pikir Bu Aya akan membelaku, tapi ternyata tidak.

Pesan Bulan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang