#8. Si Mulut Sianida

873 98 8
                                    

'Sianida pernah menjadi pencarian teratas karena kasus kopi Mirna. Btw, kapan kita ngopi bareng? Eh?'
.
.
.

Sang penerang jagat sedang tidak mau diajak kompromi. Menyinari separuh bumi dengan panas yang menyengat menusuk pori-pori. Beberapa karyawan menerka sore atau malam nanti akan turun hujan. Adapula yang berseloroh jika neraka sedang bocor.

Cuaca hari ini memang tidak bisa diprediksi. Alam masih ingin mengajak para manusia bercanda. Gerimis, panas, mendung lalu panas lagi.

Dan panasnya udara luar sepertinya menular hingga ke dalam ruang rapat lantai empat. Ruang rapat yang diisi oleh satu managing editor dan empat editor senior.

Ketegangan soal pemilihan desain cover masih terus berlanjut hingga setengah jam terakhir ini. Dari kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah. Tetap keukeuh dengan argumen masing-masing.

"Kalian ini tim yang kompak ya!" Komentar Dimas setelah beberapa argumen saling terlontar."Kompak sekali tidak mau diajak maju. Pemikiran kalian itu cokro! Kalian tau Cokro itu apa? Kampungan! Ketinggalam jaman! Ya itu, ide-ide kalian!" Lanjut Dimas masih mempertahankan sikap tanpa emosinya, sedangkan keempat rekannya sudah berada diambang amarah.

"Bapak bilang kami kampungan karena ide kami?" Tanya Ale menekankan suara pada setiap katanya.

Lihat saja, bahkan seorang yang terkenal super ramah sedang dalam mode menahan amarahnya. Lalu apa kabar dengan Kasih si miss meledak?

Terlihat Dimas menganggukkan kepalanya dengan bibir yang sedikit ia mainkan,"Selalu menggunakan konsep Desain Cover dengan isi bacaan harus sama adalah ide yang kampungan!" Jawabnya santai, yang membuat amarah para Editor Senior memuncak.

Bagaimana amarah mereka tidak memuncak ,konsep yang selama ini dianut oleh mereka dianggap ketinggalan jaman. Konsep yang sudah menghantarkan puluhan bahkan ratusan buku ke daftar best seller. Dimas Maheswara, pemuda tampan pemilik ucapan penuh sianida ini sedang menguji kesabaran para editor rupanya.

"Bapak Dimas yang terhormat, ide yang bapak anggap kampungan ini sudah menghantarkan puluhan buku ke daftar best seller, jadi saya rasa tidak ada yang salah dengan konsep kami." Arya mencoba menjelaskan prestasi mereka dengan kedua tangan yang ia simpan di balik meja. Kedua tangan yang sudah mengepal karena konsep mereka sama sekali tidak dihargai.

"Yang salah itu pemikiran bapak. Belum lagi dengan sample yang bapak berikan, ini benar-benar salah menurut saya. Bagaimana bisa kita memasang cover full color dalam novel berisikan kisah nyata seorang indigo." Suara Kasih kembali memenuhi isi ruangan rapat di lantai empat ini.

"Bapak ini novel bergenre horor bukan bacaan untuk anak-anak TK?" Agatha kembali mengeluarkan pendapatnya.

Sebenarnya mereka berempat antara ingin murka dan tertawa. Murka karena, ya tentu saja karena mulut penuh sianida Dimas yang dengan enteng mengatakan konsep mereka kampungan dan ketinggalan jaman.

Dan ingin tertawa karena, seluruh contoh yang diberikan oleh Dimas untuk buku bertema horor ini adalah cover full color. Mau dijelaskan bagaimanapun, kapanpun dan oleh siapapun pasti akan ditanggapi tidak cocok. Tidak pas dan tidak mathcing.

Dimas menegakkan badannya, menatap Kasih, Ale, Agatha dan Arya secara bergantian sebelum akhirnya menampakkan senyum sinisnya.

"Itulah mengapa saya beranggapan jika konsep kalian itu kuno!"

Suasana rapat semakin memanas. Terdengar berulang kata kuno, cokro, ketinggalan jaman dan kampungan terus diulang berkali-kali.

"Jadi menurut bapak, konsep yang pas dalam cover novel bergenre horor ini full color?" Agatha bertanya dengan tangan yang mengacungkan pena berwana pingnya pada layar monitor, yang menunjukkan contoh-contoh cover berwarna yang sangat mencolok mata.

Rankle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang