12

1.6K 183 31
                                    

Guys, ngevote itu gak nyampe 1 menit kok. Gak susah loh. Yuk, belajar menghargai karya orang lain :')

Rabu sendu. Bias gerimis masih terdengar, sisa hujan semalam. Rintiknya merdu. Aku berangkat ke sekolah pagi sekali. Menghindari Naufal yang -mungkin saja- akan menjemputku.

"Ca, kantin yu?" Ajakku pada Ica. Mengingat sahabatku yang lain sibuk dengan pekerjaannya di masing-masing organisasi yang mereka pegang.

"Yu." Jawab Ica singkat.

Aku berjalan menuju kantin bersama Ica. Menyibak sekumpulan orang yang sedang sibuk. Niatku ingin bercerita pada Ica tentang kejadian kemarin. Ingin bertanya, menurut Ica siapa yang salah disana. Kantin sedikit lengang hari ini. Aku memilih duduk di pojok, agar aku leluasa bicara bersama Ica.

"Ca." Sapaku pada Ica yang sedari tadi sibuk dengan novelnya.

"Hm?"

"Pingin cerita."

"Cerita aja."

Akhirnya aku menceritakan semuanya. Bisa ku tebak, raut wajah Ica berubah, seperti kaget mendengar semuanya. Entah kaget karena bagian yang mana, tapi yang pasti Ica sangat kaget. Banyak pertanyaan yang dia lontarkan padaku dan ku jawab seadanya. Dan sekarang giliran aku bertanya pada Ica.

"Terus gue salah?" Tanyaku.

"Gue gak mau nyalahin siapa-siapa. Tapi yang bisa gue simpulin dari sini lo terlalu posesif, Ca."

"Gue cemburu sama Naufal gak boleh ya?"

"Bukan gak boleh. Ya siapa-siapa juga kalo ada di posisi lo pasti cemburu. Tapi kan lo drama banget."

"Gue cuma kecewa dengan hubungan gue sama Naufal. Gue muak dibikin cemburu terus dan gue malunya gue bukan siapa-siapa dia. Kalo kemaren gue udah di posisi sebagai pacarnya Naufal, gue juga gak akan kebanyakan drama. Sebenernya gue kemaren kayak gitu gara-gara gue kecewa sama Naufal yang gak pernah jelasin hubungan gue sama dia. Pingin gue cuma satu, dapet kejelasan hubungan gue sama dia."

"Oh jadi lo ngamuk gara-gara itu. Tapi gak pantes deh lo marah banget sama Naufal. Inget, lo bukan siapa-siapa dia. Lo harus minta maaf kayaknya. Jelasin baik-baik."

"Gue tau gue bukan siapa-siapa dia. Dan harusnya lo sadar, resiko utama dari ketidakjelasan adalah kehilangan. Jujur, gue gak siap kehilangan Naufal. Gue nyaman banget sama dia. Gue sayang sama Naufal, Ca. Yang gue khawatirin tuh itu, kalo hubungan kita gak jelas gini berarti dia bisa kapan aja ninggalin gue gara-gara ada yang lain, atau apalah itu. Itu yang gue pikirin, yang gue takutin. Makannya gue selalu naik darah kalo cemburu sama Naufal."

"Iya, bener apa kata lo. Dan harusnya lo bilang ke Naufal, bukan ke gue bego, biar dia ngerti."

"Iya. Gue bakal nurut sama lo. Bakal minta maaf sama Naufal terus jelasin semuanya baik-baik."

"Yaudah, lo pesen apa? Gue pesenin." Tawar Ica.

"Mie ayam aja. Traktir tapi."

"Iya deh."

Aku bersama Ica menghabiskan pagi di kantin. Menunggu jadwal kerja Ica di organisasinya. Aku ditraktir Ica, mumpung anak-anak lain tak ikut. Jika ada, harus jebol kantong Ica gara-gara mentraktir mereka. Kalian tau lah mereka doyan makan. Sesekali Ica bercerita tentang kisah cintanya yang belum lama ini kandas. Dengan alasan yang tak logis, pacarnya Ica memutuskan Ica begitu saja. Seringkali dia galau, bercerita padaku tentang keadaan hatinya. Tapi makin hari makin membaik. Syukurlah, tak ada yang harus ku khawatirkan dari Ica sekarang. Hatinya sudah mulai menerima.

Aku Ingin Melupakan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang