Riweuh. Aku bangun kesiangan hari ini. Sial. Kenapa harus kesiangan? Aku tak sempat membereskan kamarku. Aku langsung mandi lalu mengemas buku. Pukul setengah tujuh aku sudah siap.
Aku berlari menuruni anak tangga. Kost-an ku terlihat tenang hari ini. Tak banyak yang berlalu lalang. Aku buka pintu gerbang dan, hey, ada Naufal disana.
"Selamat pagi Salsabilla Hussain.", dia menatapku dan melemparkan senyum yang -selalu saja- manis.
"Selamat pagi Naufal." Balasku dengan senyum yang paling ikhlas.
Pagi-pagi sudah dikasih sarapan manis. Untuk kedua kalinya dia menjemputku.
"Dari tadi ditungguin lama banget deh." Katanya, sepertinya sedikit kesal, tapi mau bagaimana pun dia tetap manis.
"Aku kesiangan."
"Pantesan. Udah siang banget. Naik."
Aku naik ke motor vespa maticnya. Dia tak banyak bertanya, tak banyak bicara. Tak seperti biasanya. Agak heran. Tapi aku pikir mungkin itu hanya perasaanku saja. Tak perlu waktu lama kita sudah sampai di parkiran sekolahku.
"Kamu duluan ke kelas, ya. Aku ada urusan dulu." Katanya dingin.
"Oh, iya. Makasih ya."
Aku meninggalkannya dengan penuh tanda tanya. Banyak kata yang ingin keluar dari mulutku. Banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan padanya. Semua tak bisa terucap.
Sekolah terasa amat ramai pagi ini. Entah ini perasaanku saja. Entah karena aku terlalu siang datang ke sekolah. Tapi Ninit dan Ica riang sekali pagi ini. Ada apa?
"Seneng banget?", kataku menghentikan tawa mereka.
"Rapat dadakan lagi. Terus gak disini.", kata Ica.
"Oh.", balasku tak bersemangat.
"Eh, kok tumben gak dianter Naufal. Kenapa?" , tanya Ijem. Mereka sedang berkumpul di meja Ica.
"Tau.", jawabku singjat.
"Gak boleh galau, lu." Kata Ica.
"Apaan si. Kantin yuk." Kataku.
"Yaudah yuk." Ica beranjak dari kursinya. "Gua kantin dulu,ya. Ikut?" Tanyanya pada anak-anak.
"Gue enggak, deh. Sok aja." Kata Ijem, yang lain pun begitu.
Aku pergi ke kantin bersama Ica. Maksudku ingin menumpahkan semua kekesalanku pagi ini. Rasanya campur aduk. Sakit, aneh, bingung, kecewa, patah. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tak terlalu berharap padanya. Harusnya aku siap menghadapi sikapnya padaku, apapun itu. Tapi kenapa sekarang amat jatuh? Serapuh ini kah aku?
Kita tiba di kantin. Aku lebih memilih duduk di ujung saja agar tak ada yang bisa melihatku jika seandainya ada sesuatu yang mengalir di pipiku.
"Ca...", aku mulai percakapan, menatap Ica dengan tatapan penuh.
"Lo cerita sama gue, ya."
"Apa salah gue sama Naufal? Kenapa dia tiba-tiba dingin banget ke gue? Kalo udah gak suka deket sama gue tinggalin aja, gak usah jemput gue."
"Lo berharap sama Naufal?"
"Coba deh, Ca. Siapa yang gak baper kalo dia perlakuin gue kayak gitu. Emang gue udah janji gak akan berharap lebih ke dia, tapi gue bisa apa? Gue ngerasa di istimewain sama dia. Lo tau kali dia gimana ke gue? Oke, gue sadar diri. Gue ngukur diri. Gue gak akan pernah pantes jadi orang istimewa buat dia. Dari sudut mana pun liatnya, gak akan pernah pantes. Bodohnya gue, gue mau aja di ajak jalan sama dia, di baperin dia. Gue gak sadar dari kemaren gitu? Bego banget emang gue.", tak terasa ada yang jatuh dipipiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/118302305-288-k866128.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Melupakan Hujan
القصة القصيرة[SELESAI] Salsabilla Hussain, seorang remaja perempuan pecinta hujan. Menurutnya hujan memberikan sejuta kejutan dan cerita untuknya.