Ayo klik tanda bintang di pojok. Kalo enggak, aku marah nih.....
Malam ini seluruh pengharapanku luruh sudah. Naufal memberiku kepastian. Menghadiahkanku kebahagiaan yang luar biasa. Tak kusangka dia seromantis itu.
Kita sudah sampai di depan kost-anku. Baru saja aku ingin pamit pada Naufal tapi mama Naufal menelpon.
"Halo ma?", jawab Naufal.
Tak begitu terdengar jelas olehku suara mama. Tapi yang jelas itu suara kepanikkan.
"Yaudah, aku sekarang kesana ma.", jawab Naufal panik.
Naufal tak berkata apapun. Dia langsung melajukan mobilnya dengan aku yang kebingungan.
Lah kok gak turun?
Lah malah jalan lagi?"Ada apa, yang?", tanyaku hati-hati.
"Aku harus ke luar kota.", katanya penuh khawatir.
"Kenapa?"
"Papa kecelakaan sayang. Mama sekarang udah di jalan. Aku harus nyusul mama."
Aku kaget.
"Terus aku mau dibawa kemana, yang?", tanyaku heran.
"Temenin aku ke rumah dulu."
Aku diam sepanjang jalan. Naufal mengemudikan mobil sedikit kencang, tak seperti biasanya. Dia benar-benar panik sekarang. Wajah tegang.
Kita sampai di rumah Naufal.
"Aku mandi dulu, ya. Kamu duduk aja.", katanya.
"Kamu mau bawa baju berapa?"
"Jangan banyak-banyak, yang."
"Mau pake tas yang mana?"
"Yang diatas lemari baju aku. Duduk aja dulu. Nanti kemasnya bareng aku."
Aku menurut. Duduk menunggu Naufal beres mandi. Tak banyak yang kulakukan hanya diam menatap sekitar. Naufal juga mandi tak terlalu lama. Mungkin karena dia sedang panik dan tak bisa bersantai. Asal bersih. Aku biarkan dia memakai baju dulu sampai dia memanggilku.
"Yang!" Panggilnya.
"Iya, bentar."
Aku beranjak dari dudukku lalu menghampiri Naufal di kamarnya.
"Mana baju yang mau dibawa?", tanyaku.
Dia mengambil beberapa pakaian dari lemarinya, lalu ku kemas dalam tas. Aku duduk di ujung ranjang. Naufal menyisir rambutnya yang basah. Setelah itu dia memberikan beberapa barang yang harus dia bawa lalu kembali ku kemas. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Campur aduk. Perasaan yang tak dapat ku definisikan. Entah raut wajahku saat ini macam apa. Tapi sepertinya Naufal mengerti. Dia duduk disampingku.
"Jangan sedih, ya?", katanya sambil mengelus pelan puncak kepalaku.
"Enggak kok. Hati-hati ya."
"Iya, sayang pasti. Kamu jangan kangen.", katanya sambil menggodaku.
"Enggak, masa kangen."
"Aku gak lama kok."
Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku sudah selesai mengemas barang Naufal. Sedari tadi Naufal terus memperhatikanku. Dan sekarang mata kita bertemu. Tatapan Naufal selalu saja menghangatkan. Dia mengelus kepalaku pelan. Tersenyum dengan manisnya.
"Maafin aku yang. Aku cuma bisa ngasih kamu kejutan kayak tadi. Sekarang jangan banyak marah-marah lagi. Kan udah gak digantung. Makasih udah sabar buat aku. Harusnya sekarang aku nemenin kamu tapi ada kejadian yang sama sama gak kita harapkan. Aku gak lama kok. Kamu jangan sedih, ya.", jelas Naufal.
"Iya, gak apa-apa kok yang. Makasih banyak malah buat yang tadi. Aku gak nyangka aja. Hati-hati, ya."
"Iya, sayang."
Aku berdiri, bersiap beranjak dari posisiku sekarang. Tapi Naufal menahanku. Dia memelukku erat. Ku balas pelukan itu. Aku menangis di pelukan Naufal. Dia beberapa kali mengecup puncak kepalaku.
"Jangan lama, ya. Nanti aku kangen.", kataku sambil menangis.
"Iya, sayang. Bentar aja, kok. Kan aku juga harus sekolah. Jangan nangis."
"Hati-hati. Jangan ngebut. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa."
"Bawel. Iya, sayang."
Aku mengambil tas pakaian Naufal lalu menyimpannya di mobil. Naufal sedang mengunci pintu rumahnya lalu masuk ke mobil diikuti olehku. Sepanjang jalan aku tak berani menatap Naufal. Ada rasa aneh dihatiku sekarang. Entah apa itu, mengganjal. Aku menatap jauh ke luar jendela disampingku. Tangisku masih tetap. Begini rasanya saat tangis bahagia dan tangis sedih turun bersama. Mungkin langit pun seperti itu saat hujan. Memang, hujan menyenangkan, tapi suatu saat nanti, entah kapan itu, akan ada saatnya aku menganggap hujan sebagai hal yang melambangkan kesakitan. Jatuhnya air menghujam tanah. Bukankah sesuatu yang menghujam itu sakit?
"Sayang, udah sampe. Jangan nangis terus, dong. Nanti aku pulang sayang."
'Nanti aku pulang, sayang.'
Mengapa kalimat itu sangat mengganjal terdengar. Tak enak rasanya. Membuat hatiku semakin tersayat. Mengapa? Ada apa? Padahal hanya kalimat biasa. Bahkan menjanjikan kepulangan. Bukankah itu kalimat baik? Akan pulang berarti akan kembali. Tapi mengapa semua ini berbeda?
"Hati-hati, yang.", lirihku.
"Kamu langsung istirahat, ya. Tidur. Jangan begadang. Besok latihan. Nanti aku kabarin kalo udah nyampe.", katanya lalu mengecup keningku.
"Hm, iya yang."
Aku keluar dari mobil Naufal. Lalu Naufal melambaikan tangannya. Aku menunggu sampai mobil Naufal tak terlihat lagi. Aku masuk ke kamarku lalu membersihkan badanku.
Hari ini aku harus bahagia atau sedih? Iya, aku bahagia dengan luruhnya semua pengaharapanku. Dengan romantisnya Naufal, manisnya dia. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan aneh yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Bukan karena dia pergi keluar kota. Itu hanya faktor kecilnya. Tapi ada sesuatu yang benar-benar membingungkan. Ketakutan, kesedihan, kekhawatiran, semuanya campur aduk. Ada apa sebenarnya?
Semoga kau baik-baik saja, Naufal...
***
Hai semuanya. Chap ini emang sedikit banget, ya. Gaje malah. Tapi sebentar lagi cerita ini akan usaaaai. Hehehehe.
Aku udah yakin mau kelarin buku ini. Terus bikin cerita baru lagi. Dalam beberapa chap ke depan buku ini usai gais. Selamat membaca✨

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Melupakan Hujan
Nouvelles[SELESAI] Salsabilla Hussain, seorang remaja perempuan pecinta hujan. Menurutnya hujan memberikan sejuta kejutan dan cerita untuknya.