5

2.2K 95 3
                                    

Pagi ini kembali cerah. Mentari menyapaku dengan hangat. Seperti biasa, pukul setengah 7 pagi aku sudah siap berangkat ke sekolah. Dengan tas abu-ku, aku begitu bersemangat menuruni tangga kost-anku. Dan tak ku sangka, ada seseorang menungguku di depan gerbang.

"Selamat pagi Salsabilla Hussain." Sapanya dengan senyum yang khas, Naufal.

"Hei, kenapa disini?" Kataku kaget.

"Mau jemput anaknya pak Hussain. Ada gitu, ya?" Jawabnya dengan berlagak bingung.

"Gak tau. Saya duluan ya, mas." Kataku sambil beranjak pergi, menahan tawa.

Dia spontan tertawa dan menahanku dengan meraih tanganku.

"Naik." Katanya singkat.

Aku naik ke motor vespa matic-nya. Di motor dia kembali menggodaku sampai aku sebal dan sesekali tertawa.

"Udah sarapan?" Tanyanya, mulai agak serius. Tak menggodaku lagi.

"Belum."

"Kita beli bubur dulu, ya?"

"Gak usah, Fal."

Kita tak langsung ke sekolah, dia mengajakku membeli bubur. Walaupun aku menolak tapi dia tak bisa ditolak begitu saja.

"Mang, buburnya satu. Campur mang. Dibungkus." Dia memesan bubur lalu kembali ke motornya untuk menghampiriku.

"Padahal gak usah, Fal." Kataku.

"Kamu harus sarapan, takut kamu sakit."

"Enggak akan, Fal."

"Dimakan, ya, buburnya."

"Iya, Fal."

Dia mengambil bubur yang sudah jadi lalu membayarnya.

"Makasih, Fal." Aku nyengir.

"Sama-sama anak pak Hussain." Katanya sambil mencubit pipiku.

Aku melanjutkan perjalananku menuju sekolah. Tak perlu waktu lama aku sudah sampai di parkiran sekolah.

"Aku anterin ke kelas." Katanya sambil membuka helm nya.

"Gak usah, Fal."

Aku tak pernah bisa menolak. Dia tak pernah mendengarku. Aku diantar ke kelas oleh Naufal. Kita berjalan melewati lorong depan kelas 12. Banyak yang menatapku seperti macan yang sedang menatap mangsanya, kakak-kakak kelas perempuan yang juga mengidolakan Naufal. Aku tak bicara sepatah kata pun. Begitu pun Naufal. Akhirnya aku sampai di depan kelasku.

"Makasih, Fal." Aku melempar senyum terikhlasku.

"Sama-sama." Dia membalas senyumku dengan senyum termanisnya, mencubit pipiku lalu beranjak meninggalkanku.

Aku langsung masuk ke kelas dengan riangnya. Anak-anak terus saja menggodaku, sampai-sampai wajahku merah seperti kepiting rebus. Aku juga bercerita tentang kemarin, saat aku diajak jalan oleh Naufal.

"Ca, awas ya PJ nya." Kalimat yang selalu saja keluar dari Ijem.

"Eh, tau ah." Aku kesal sambil menahan tawa. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Sampai bel masuk menyelamatkanku.

Aku Ingin Melupakan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang