Hari itu tanggal 7 Februari 2012, tidak ada hal yang menarik di pagi-pagi buru-buru berangkat ke kantor sembari mengantar anakku yang pertama masuk sekolah seperti biasa. Hati tidak enak karena anakku yang kedua panas sudah 4 hari ini. Setiap anak panas, hatiku selalu tidak nyaman, dan pikiran menjadi tidak begitu fokus bekerja, entah mengapa apabila anak sakit selalu ada rasa ketakutan yang menjadi-jadi entah kenapa. Nanti siang jadwal periksa anakku, karena sudah 4 hari panas dan tidak kunjung sembuh, yang kutakutkan adalah anakku kena demam berdarah, atau harus mondok di rumah sakit sebuah kata yang sangat tidak aku sukai.
Anakku yang kedua ini pernah opname di rumah sakit cukup lama karena kena diare, kemudian pernah juga mondok karena kena demam berdarah, sehingga kata rumah sakit merupakan dua kata momok yang selalu membuat aku paranoid mendengarnya.
Setelah aku larut dalam pekerjaan, jam 14.00 handphone berdering dan kuamati... hmmm dari istriku.. oya ini hasil pemeriksaan pasti akan dikabarkan istri saya. Tanpa panjang lebar aku angkat HP ku dan aku dengarkan dengan seksama kata-kata istriku.
Agak lama sekali aku hanya mengucapkan kata halo berkali-kali tanpa jawaban dari istriku, hanya isak tangis yang ditahan untuk meminta aku segera ke rumah sakit. Tanpa memerdulikan pekerjaan yang belum aku selesaikan, langsung aku cabut dari kantor segera menuju ke rumah sakit Panti Rapih, yang cukup dekat dari kantor. Hatiku penuh tanya, mengapa istriku tampak sangat terpukul dengan keadaan anakku. Setengah berlari akupun mencari tempat praktek dokter anak langganan istriku, di lantai 3 Panti Rapih. Beberapa ruang aku masuki, dan ternyata istriku sedang di sebuah ruangan khusus bersama anakku."Kenapa mami.. ada apa" tanyaku mencoba tenang.
" Pak... Radit Pak..... Radit.......terkena leukimia pak... !!! teriak istriku saat melihat aku masuk ke ruangan.
Terlihat anakku menahan tangis, karena melihat ibunya histeris menangisi keadaan anaknya. Akupun tidak kuasa menahan terkejutku, akan tetapi penguasaan diriku cukup baik sehingga sebesar apapun terpaan cobaan tampaknya aku bisa lebih tenang dibanding istri saya."Ibu nggak usah nangis... aku pasti sembuh" kata anakku menahan tangisnya...
"Bapak dapat menunggu dokter Noor menjelaskan nanti setelah pasien yang lain selesai pak" ujar perawat yang menemani istri saya.
Anakku tanpa dosa memandang ibunya, dan bapaknya berganti-ganti sambil sesekali menahan tangis melihat ibunya yang tak kuasa menangisinya. Setelah pasien terakhir dilayani oleh dokter Noor, seorang dokter anak langganan anakku sejak kecil, akhirnya aku diberi penjelasan tentang hasil lab test darah anak saya. Diperlihatkan satu lembar hasil lab, dan dijelaskan oleh dokter Noor bahwa lekosit atau sel darah putih anakku sangat tinggi sekali, yaitu berkisar antara 177.000 sedangkan normalnya adalah 4000 - 10.000. Hal ini menandakan anakku terindikasi terkena leukimia yang cukup berat.
"Anak bapak saya rujuk ke Sardjito pak, karena di sana ada penanggulangan kanker anak yang ditangani oleh Prof. Sutaryo ahlinya. Bapak dapat konsultasi terlebih dahulu nanti malam di ruang prakteknya di sekitar Amplaz praktiknya" dokter Noor menjelaskan dengan gamblang.
"Ibu harus tabah, jangan menangis di depan anak, nanti anak ibu akan putus asa dan tidak semangat lagi" sambil memandang memelas ke istriku, dokter Noor mencoba memberi semangat ketabahan pada istriku. Tampak dokter Noor menyimpan keharuan yang dalam, saat melihat keadaan dan ketabahan anakku menghadapi sakit yang tidak ia sadari bahayanya.
"Iya..iya dokter terimakasih nasehatnya" kata istriku sambil terisak.
"Tabah ya bu..." suster yang mengantar kami menimpali untuk menguatkan hati kami.
"Ibu mbayar dulu ya .. sebentar" kata istriku kepada anakku sambil jalan ke arah kassa. Tanpa kuasa ternyata istriku pingsan setelah berada di depan kassa. Dengan terpaksa aku tinggalkan anakku sendirian di bangku tunggu untuk mengurusi istriku yang pingsan menanggung beban yang cukup berat penyakit anakku. Dengan bantuan suster, istriku aku bopong ke salah satu ruang perawatan sambil diberikan oksigen."ibu harus tabah.." akhirnya dokter Noor kembali memberikan nasehat ke istri saya, saat beliau dilapori suster tentang keadaan istriku.
"Ibu jangan menangis di depan anak, anak akan bingung nanti bu" sambil menahan tangis dokter Noor juga mencoba menenangkan istriku.
Tampak anakku cukup tabah, walaupun dia sendiri tidak mengetahui dengan persis bagaimana keadaan penyakit yang dieritanya. Setelah istriku merasa cukup kuat, dan kamipun mencoba untuk pulang ke rumah.
Malamnya, kami pun mencari praktek Prof. Sutaryo yang disarankan dokter Noor, untuk konsultasi tentang data darah anakku. Istriku dengan mata sembab terus menangisi nasib kami yang terbeban berat, terlebih lagi anakku yang terindikasikan penyakit Leukemia. Setelah giliran kami untuk konsultasi, Prof. Sutaryo pun dengan tersenyum mengatakan "Kasus leukemia ini menyenangkan bapak, dan ibu" sayapun terperangah mendengarkan penjelasannya.
"Dari 10 penderita, 8-9 sembuh bapak dan ibu, jadi bapak dan ibu jangan khawatir" bagaikan air yang sejuk kata-kata Prof. Sutaryo betul-betul membuat kami menangis bahagia. Aku pegang tangan istriku, dan mengucap syukur bahwa penyakit anakku ini dapat disembuhkan.
"Malam ini langsung ke Sardjito, dan akan dirawat dengan segera di bangsal Estella, bapak dan ibu, biar langsung bisa ditangani" Kata Prof. Taryo mantap.
"Saya memerlakukan pasien Leukemia sangat kejam bapak dan ibu, artinya apa....pasien leukemia hanya bisa ditunggui oleh satu orang penunggu, baik ibu saja atau bapak saja, untuk mempercepat proses sembuhnya" sambil menuliskan rujukan ke RS. Sardjito Prof. Taryo panggilan akrab Prof. Sutaryo yang sederhana menjelaskan. Kata-kata positif dan penuh semangat telah membangkitkan semangat kami untuk segera masuk ke Bangsal Estella seperti yang disarankan Prof. Taryo.
"Bapak bekerja di mana?" tanya prof. Taryo
"Saya bekerja di penerbitan pak" jawabku lugu
"Ada jaminan pengobatan tidak di sana?" sambil melirik ke arahku Prof. Taryo mencoba menebak.
"Sepertinya tidak ada pak" jawabku mantab, karena tanggungan jaminan kesehatan keluarga dari perusahaan pasti tidak ada.
"ya.. coba nanti saya akan bicara dengan pemiliknya" Kata Prof. Taryo.Malam itu jam 24.00 kamipun bersiap untuk menuju UGD Sardjito untuk mempercepat proses kesembuhan anakku. Sesuai dengan petunjuk Prof. Taryo kami langsung ke UGD dan mendapat berbagai tindakan, serta wawancara yang cukup panjang. Proses foto toraks, dan proses pencarian kamar cukup memakan energi. Kami menginginkan kelas 3, kelas yang mampu kami bayar. Sedangkan kamar kelas 3 sudah penuh sehingga ditawarkan untuk kelas 2 sementara menunggu kelas 3 ada yang kosong.
Di tengah proses rawat inap yang cukup ribet, kami diberikan penjelasan dokter tentang penyakit anakku. Kegawatan penyakit ini tampak sekali dari cara penjelasan dokter yang cukup hati-hati. Akupun tidak berpikir apa-apa tentang penyakit anakku ini, akan tetapi dari penjelasan dokter jaga, tampak sekali kekhawatiran dokter tersebut terhadap kondisi anakku.
"Bapak, dan Ibu, akan saya jelaskan kondisi adik saat ini pak dan bu. Kondisi adik tampaknya sehat-sehat saja, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat kejadian yang cukup luar biasa bapak dan ibu" demikian introduction dokter jaga tentang diagnosis anak saya.
"Kondisi adik, saat ini dapat dikatakan cukup gawat dan kritis, karena sel darah putih adik sangat jauh di atas ambang normal, bahkan dapat dikatakan hyper jumlah darah putihnya. Dalam istilah kedokteran disebut Hyper leukocite"
"Jika tidak ditangani, maka sel darah putih akan menguasai tubuh adik, dan darah akan mengental serta akan menumpuk pada bagian-bagian vital, di saluran otak, saluran pernafasan, sehingga dapat menyebabkan kematian. Maaf saya perlu menjelaskan hal-hal yang urgent ini kepada bapak-ibu tentang kondisi pasien yang sebenarnya, bukan menakut-nakuti".
Mendengar penjelasan demikian kamipun tertunduk menahan air mata yang tak kuasa kami bendung. Penjelasan Prof. Taryo sungguh bertolak belakang dengan dokter jaga ini, akan tetapi keyakinan kami masih ada dan percaya pada penjelasan Prof. Taryo sebelumnya dibanding dokter yang menjelaskan kepada kami ini.
Kamipun di antar ke ruangan bangsal Kartika, yang cukup sederhana karena satu kamar untuk 3 pasien dan 3 penunggu. Melihat kondisi kamar yang kurang kondusif, istrikupun menawarkan kepadaku untuk berpindah sementara di ruang yang lebih baik di kelas 2, untuk menunggu tindakan selanjutnya. Akupun menyetujuinya sehingga kamipun berpindah ke bangsal Estella di kelas 2. Dalam kondisi lelah fisik dan psikis, kamipun memasuki ruangan yang cukup lega dengan kamar mandi di dalam, dan satu kamar berisi 2 pasien cukup membuat kami terhibur. Karena ketentuan rumah sakit tentang penunggu harus satu orang, akupun mencari tempat untuk tidur sebentar dan menunggu hingga besuk pagi proses selanjutnya dari pemeriksaan anak saya.
Di bawah tangga, akupun merebahkan diri dengan rasa yang tidak karuan, ngelangut dan terasa hampa sendirian menanggung beban. Akupun menghibur diri, mungkin ini hanya mimpi burukku yang akan hilang setelah aku bangun dari lelap tidurku. Setiap aku terpejam dan bangun lagi, ternyata aku masih pada tempat yang sama, di bawah tangga dan sendirian kedinginan, mengapa aku tidak bangun-bangun dari mimpiku hari ini. Akupun masih mencoba menghibur diri, bahwa kejadian ini hanya mimpi belaka dan sebentar lagi akupun akan bangun kembali ke aktifitas rutin biasanya.
Malam semakin larut, burung-burung malam pun mengeluarkan suara-suara aneh membuat aku semakin yakin bahwa aku tidak mimpi buruk akan tetapi sebuah kenyataan yang harus dihadapi bahwa anakku terkena leukimia akut dan sedang menjalani pengobatan.
Panas anakku masih tinggi sekali pada pagi hari, dan anakku sudah mulai gelisah karena jarum infus telah masuk di tangannya dengan proses yang tentu cukup membuat anakku ketakutan luar biasa. Di suntik adalah kata yang menakutkan bagi anakku. Pada malam itu telah dilakukan 2 kali penyuntikan jarum ke tubuh anakku. Suntikan pertama adalah memasukkan jarum infus dan suntikan kedua adalah cek darah, sehingga total dalam satu hari anakku telah disuntik 3 kali. Padahal anakku paling takut melihat jarum suntik, sehingga trauma ini menjadi semakin nyata akibatnya pada anakku. Ia sering menangis ketakutan disuntik dan tidur selalu tidak tenang karena takut pada jarum suntik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obat Terakhir Raditya
SpiritualCerita ini adalah pengalaman pribadi saya sebagai bapak, yang mendampingi hari-hari terakhir anak saya yang divonis Leukemia. Ingin saya buang kenangan ini, akan tetapi semakin ingin saya melupakannya, semakin kuat saja kenangan ini hadir di setiap...