"O ya ada pak Eko di depan bangsal.. mau telepon kamu...." kataku setelah melihat SMS dari Istriku. Seingatku Radit sangat dekat dengan gurunya bernama pak Eko, karena seringnya bercerita tentang segala pelajaran, tingkah laku gurunya saat di sekolah. Semua hal tentang pak Eko diceritakannya, termasuk memijiti punggung pak Eko.
"Nggak mau pak...." geleng Radit pelan.... aku sedikit kaget melihat ekspresi Radit yang datar saja melihat pak guru kesayangannya mau menelepon. Dering telepon HP ku pun berbunyi.
"Halo mi... gimana.. ada pak Eko..." kataku
"Iya mau bicara sama Radit" kata istriku.
Sambil ogah-ogahan Radit menerima telepon dari gurunya.. jawabnya hanya tertawa dan kata "Iya"... sambil menahan sakitnya. Telepon pak Eko cukup lama dan Radit hanya tertawa kecil dan menjawab kata "iya.." saja .. aku tidak tahu materi apa yang dibicarakannya.
"Pak ... sudah pak" kata Radit sambil menyerahkan HP ku...
"Seneng ya.. bisa denger pak Eko..." kataku sambil menerima HP ku.
"Iya... " Kata Radit singkat.
"Semua sayang Radit kan" kataku mengusap kepalanya.
"Pak... aku pernah dipukul pak Eko...." kata Radit pelan sekali hampir tidak terdengar. Tampak sambil menangis dia ngomong bahwa Radit pernah dipukul pak Eko, karena dikira pak Eko .. Radit yang rame.. padahal teman Radit yang rame. Tampak keterpukulan Radit dan kekecewaan Radit pada sosok Gurunya ini disimpan di hatinya yang terdalam.
"Nggak.. pak Eko pasti tidak sengaja itu.." kataku di tengah kekagetanku.... selama ini aku kira Radit kagum dan sayang terhadap pak Eko.. yang katanya cukup bagus kalau mengaji dan sering mengajari Radit mengaji.
"Aku pernah dipegang dengan kasar bajuku..pak .. begini ini" kata Radit sambil meperagakan bajunya ditarik pak Eko ke atas.. sambil menitikkan air mata kekecewaan mendalam terhadap sosok gurunya.
"Tapi pak Eko pernah baik kepadamu kan...coba kamu ingat kebaikannya" akupun memecahkan kekecewaan Radit, dan Raditpun mengangguk perlahan.
"Sudah... kamu ingat kebaikannya jangan ingat keburukannya ya..." sambil mengalihkan pembicaraan aku cek infusnya.
Aku cek kaki Radit... sangat dingin.. akupun sedikit panik... tampaknya Radit mau demam, sehingga akupun mempersiapkan minyak tawon yang baru dibelikan istriku, untuk memijiti kakinya yang dingin. Ternyata perkiraanku tepat.. Radit panas kembali dalam suhu di atas 38,5.. cukup tinggi panasnya. Akupun teringat bantal panas untuk terapi di rumah ibu saya, akhirnya aku sms istriku untuk mengambilnya, untuk menghangatkan kaki Radit. Suster pernah mengatakan apabila panas, tolong di kompres ketiak, kepala, dan kaki dengan menggunakan kantong kaus tangan karet yang diisi dengan air hangat. Pernah aku kompres Radit dalam tidurnya, kaus tangan karet ini pecah sehingga membasahi seluruh tubuh Radit dan tempat tidurnya.
Proses mengganti baju Radit saat infus menancap, dan tangan Radit kesusahan ditekuk, merupakan beban terberat. Radit sudah susah bangun, dengan tangan penuh bekas tusukan infus, sampel darah dan test alergi, mejadikan tangannya sakit apabila ditekuk, sehingga penggantian baju dan sprei tempat tidut menjadi sangat lama. Perlu kesabaran untuk membuka baju Radit, mengganti dengan yang baru, kemudian mengganti sprei tanpa harus mengangkat Radit. Teknik ini aku pelajari saat perawat-perawat 2 hari sekali mengganti sprei tanpa harus mengangkat badan pasien.
Dah kelar.. walaupun tubuh basah kuyup karena keringat, selesai mengganti sprei, baju dan celana Radit. Setelah itu aku jadi teringat bantal hangat elektrik yang digunakan untuk terapi rematik nenek Radit.
Pagi.. setelah proses MTX, ada visite dari Prof. Taryo.. seorang dokter ahli dibidang Leukemia di Sardjito.
"Hmm... anak ini akan baik jika di isolasi.... masih panas ya..." kata Prof. Taryo
"Masih panas terus prof..." kataku menjelaskan
"Itu yang tidak boleh.... " kata Prof. Taryo
"Bapak harus pake masker dan baju Steril.. supaya adik tidak infeksi terus..." kata Prof. Taryo
Aku jadi teringat bahwa hanya saat kunjungan Prof. Taryo saja instruksi penggunaan masker dan baju steril dilakukan oleh perawat-perawat. Aku terkadang tidak habis pikir mengapa hanya saat kunjungan Prof. Taryo saja mereka disiplin menggunakan baju Steril dan Masker.
Dalam hati pernah aku mempunyai niat untuk menggugat ketidak seriusan rumah sakit ini dalam menangani resiko infeksi pasiennya. Aku dapat membayangkan betapa sakitnya anak-anak yang berjuang melawan infeksi yang ditularkan di mana-mana, termasuk di baju penunggu, mulut penunggu. Hal ini tampaknya diabaikan oleh beberapa dokter dan perawat di bangsal ini. Aku pernah berniat menemui prof Taryo memberitahukan kebohongan, kepura-puraan beberapa suster dan dokter jaga yang ada di bangsal lantai 2 Estella ini. Tapi...aku urungkan jika sudah melihat kondisi anakku yang tidak kunjung membaik, lama-lama terlupa dengan niatku karena melihat rintihan dan kesakitan anakku.
"Bapak besuk coba masuk kerja ya dek... sudah beberapa minggu bapak bolos kerja..." kataku pelan-pelan kepada Radit
"Bapak jangan kerja dulu pak.... " Kata Radit memelas
"Sebentar saja nengok kantor bapak" kataku tidak berani melihat ekspresi Radit mendengar permohonanku.
"Sebentar saja lho.. sambil ambil PSP dari teman bapak" kata Radit mengingatkan janjiku pada Radit untuk membelikan mainan.
"Temen bapak memberikan Game Boy dik.. mau nggak" kataku
"Game boy .. apa itu pak" tanya Radit
"Sejenis PSP mungkin.. bapak juga nggak tahu" kataku polos
"Ngak pa pa pak.. kalau kurang duitnya bapak ..pake tabungan Radit aja pak" kata Radit polos membikin trenyuh* hati ini.
"Pak mbok pindah dari ruangan ini pak.. berisik sekali... aku jadi pusiiiingggg" kata Radit saat mendengar radio yang disetel Rahmat teman Radit di tempat tidur pojok.
"Sabar ya dek... coba kamu cuek aja ya.." hiburku
"Enak waktu di kelas 2 kemarin pak...atau Radit pengen kamar sendiri biar bisa tenang pak tidurnya...." kata Radit polos
"Bapak nggak punya uang dek untuk ruangan sendiri..." kataku menjelaskan alasan kenapa Radit di ruangan 1 kamar buat ber 3.
"Tapi aku pusiiiingg pak kalau ribut begini..." pinta Radit dalam tangisnya..
Aku hanya bisa menghibur, dan mencoba mengalihkan perhatiannya di lain pembicaraan.
Esoknya aku coba masuk ke kantor, untuk membereskan pekerjaanku yang sudah aku tinggalkan lama. Di kantor.. rasanya tidak karu-karuan karena teringat Radit terus, sehingga aku benar-benar tidak dapat konsentrasi. Entah mengapa perasaanku sangat berat meninggalkan Radit di rumah sakit. Aku teringat dengan keadaannya yang kurang baik dan belum baik hingga hari itu. Rasa sedih mengikutiku, walaupun aku duduk di bangku kerjaku...
"Pak Edi.. kurus sekali pak... capek ya.." kata teman kantorku
"Iya mbak... nunggui anak saya.. nyaris tidak tidur selama ini" kataku polos
"Gimana keadaannya.... membaik to" tanyanya dalam ketidak tahuan
"Sudah lumayan.. bisa aku tinggal sebentar.." kataku sedikit berbohong keadaan anakku
"Syukurlah ... cepat sembuh ya Radit... " ada nada lega mendengar berita anakku
"Doakan saja ya mbak" kataku memelas
Ding..... ada SMS dari Istriku.. aku selalu was-was apabila ada SMS dari istriku
"Pi ... cepat pulang.... Radit nanyain bapak terus.." bunyi SMS istriku
Hanya satu SMS, sudah membuat aku tidak dapat duduk tenang... jalan ke sana kemari.. masih saja bayangan Radit sakit mengikutiku... ada rasa sedih, tidak terima, marah.. pada keadaan yang berubah drastis dalam 2 minggu ini.
Istriku ditemani ibu mertuaku ikut menunggui Radit. Hatiku cukup lega ada yang menemani, walaupun keadaan keluarga ini sudah morat-marit.Istriku tidur di samping bangsal, seperti seorang tuna wisma di pinggir toko. Apabila malam sudah aku bayangkan dinginnya pasti minta ampun, belum lagi kalau hujan. Lengkap sudah penderitaan kami. Akupun rindu kegiatanku seperti biasa, bangun pagi.. maen sepeda, ke kantor sambil nganter anak, kerja, pulang, berkumpul lagi dengan Radit dan Dita, serta ibunya. Hmmm masa-masa yang indah.. akankah terulang.. terkadang aku melamunkan hal itu di tempat duduk kerjaku.
Aku harus kembali ke rumah sakit, mengurusi Radit yang terbaring lemah, mandi di tempat mandi umum bangsal Estella. Panas ruangan yang menyesakkan dada, tangisan Radit, tangisan temannya, keributan-keributan yang membuat stress pasien dan penunggunya. Setiap hari makanan Radit dari rumah sakit aku makan, walaupun rasanya hambar tetap aku lahap dengan harapan tidak ambruk sakit, karena yang menunggui Radit hanya aku yang kuat mentalnya. Melihat Radit kurus, tangan, dan kaki hanya terbalut kulit tipis, bokong sudah habis, tulang dada rata.. yang berbaris rapi, mata cekung, dan mulut penuh dengan darah kering... siapa tega melihat hal ini.
"Pak Radit sayang bapak... terimakasih ya pak.. Radit sudah ngrepotin bapak..." kata-kata Radit yang lembut bagaikan halilintar yang membelah dadaku. Tak kuasa aku mendengar kata-kata Radit yang tidak lazim ini, akupun mencoba untuk tetap tegar.
"Radit tidak ngrepotin kok.. bapak kan sayang banget sama Radit... kamu tahu itu to..." kataku menjawab pernyataan Radit yang tak terduga.
"Terimakasih pak...." kata Radit kembali mengiris-ngiris rasa hatiku
"ngGak perlu terimakasih.. sudah ... sudah... Bapak kan sayang Radit" .. kataku terbata-bata.
Bibir Radit kering.. memperlihatkan kalau suhu badannya selalu panas, sehingga terkadang bibirnya pecah-pecah saking panas badannya. Sedikit darah terkadang keluar dari gusi-gusinya menandakan trombocitnya cukup rendah mungkin sehingga harus transfusi TC. Karena kondisi gusinya yang demikian, dokter menyarankan untuk tidak melakukan sikat gigi. Sehignga mulai hari itu Radit tidak sikat gigi, hal ini menambah sedikit kotornya gigi-gigi Radit. Terkadang darah kering menempel di langit-langit mulut Radit, dan Radit tanpa sengaja memasukkan tangannya untuk mengambil darah kering di mulut Radit. Aku terkadang sedikit memarahi Radit untuk tidak memasukkan tangan yang mungkin penuh kuman ke mulut Radit.
"Sudah to pak.. nggak papa aku bersihkan sendiri..ni..ni..ni..." kata Radit sambil emosi jika aku peringatkan sambil memasukkan tangan di mulutnya.
Terkadang emosinya Radit semakin tidak terkendali, apalagi saat mulai demam. Detak jantungnya menjadi lebih cepat, emosi meluap-luap. Aku paham kondisi Radit yang mungkin menahan sakit yang tidak terkira, sehingga emosinya bertambah labil.
"Panas... pak... panas....." kata Radit saat demamnya naik. Tampaknya Radit kebingungan antara saat sebelum demam dia kedinginan, dan setelah aku beri penurun panas. Keringat Radit bisa besar-besar seperti butiran jagung. Bantalnya menjadi basah keringat, sehingga harus sering aku balik supaya lebih nyaman tidurnya Radit.
"Pak setiap 4 jam diminumin Paracetamol ya pak..." kata dokter Deni mengingatkan. Panas Radit setelah kemoterapi masih naik turun, menandakan infeksinya cukup parah.
"Pak satu kantong darah merah atau PRC (Packed Red Cells) untuk Radit dapat diambil di PMI pak" Kata dr Deny. Transfusi darah merah dilakukan untuk menambah asupan darah Radit yang mungkin sudah musnah oleh kemoterapi yang dilakukan beberapa hari. Delapan hingga sembilan hari Radit dimasukki obat-obat dengan dosis yang cukup tinggi untuk memusnahkan sel darah putih yang tidak berguna, sehingga targetnya adalah menghilangkan semua darah putih yang tidak bermanfaat, kemudian dipacu Radit untuk membentuk sel darah putih yang sehat. Aku agak bersyukur dan optimis keadaan Radit akan membaik, karena selama kemoterapi, Radit tidak begitu merasakan mual, dan rambut Radit tidak rontok. Sementara keadaan yang cukup mengkhawatirkan adalah panasnya yang tidak pernah turun serta gusinya yang masih sering berdarah.
Bintik-bintik darah merah yang muncul di tubuh Radit juga semakin banyak, menandakan bahwa trombocitnya mungkin di bawah ambang batas terendah. Makanya team dokter yang menangani Radit kemudian meminta lagi untuk melakukan transfusi darah trombocit TC, untuk menaikkan trombocitnya yang terlalu rendah. Sekali lagi pencarian donor berjumlah 7 orang, masih cukup mudah aku lakukan, dengan menghubungi teman serta daftar pendonor golongan A yang aku punya masih cukup untuk mensuplai trombocit buat Radit.
Karena keadaan Radit tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan, maka aku kembali bekerja walaupun hanya sebentar, karena aku masuk siang menunggu Radit terlebih dahulu. Istri aku juga minta Radit untuk masuk isolasi, jika memang dapat membantu mengurangi infeksi Radit, tapi team dokter mengatakan Isolasi masih penuh, dan diperuntukkan untuk pasien lain yang lebih kurang beruntung keadaannya dibanding Radit. Ada rasa optimis dari penolakan isolasi ini, karena kondisi Radit masih dianggap baik dan belum layak untuk masuk Isolasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obat Terakhir Raditya
SpiritualCerita ini adalah pengalaman pribadi saya sebagai bapak, yang mendampingi hari-hari terakhir anak saya yang divonis Leukemia. Ingin saya buang kenangan ini, akan tetapi semakin ingin saya melupakannya, semakin kuat saja kenangan ini hadir di setiap...