Malam itu begitu berat, saat anak di sebelah Radit yang bernama Ainun begitu rewel dan ribut, menjadikan Raditya tidak bisa tidur dan berkali-kali menangis marah kerena selalu terganggu dengan rengekan Ainun. Aku lihat Ainun sudah sangat kepayahan dalam mengambil nafas, dan ternyata betul bahwa Ainun sudah sangat kepayahan dalam bernafas. Ainun harus menggunakan alat pacu pernafasan untuk membantu nafasnya yang tersengal-sengal kepayahan. Aku mendengar dari dokter yang memeriksanya, mengatakan bahwa Ainun ini sudah kepayahan dalam mengambil udara melalui paru-parunya, harus dibantu dengan alat pacu nafas yang secara elektronis akan membantu Ainun dalam bernafas. Aku dengar pula berapa harga sewa pacu nafas ini dalam seharinya, yaitu Rp. 2 juta jumlah yang tidak sedikit. Karena orang tuanya merasa tidak mampu, akhirnya dokter memberikan lembaran pernyataan bahwa orang tuanya tidak mampu membiayai sewa alat pacu nafas, sehingga menanggung segala resiko jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Akupun menjadi miris melihat keadaan ini, yang mungkin dapat terjadi pada anakku. Karena keterbatasan biaya akhirnya menyerah pada keadaan dan hanya berharap mukjizat. Pagi-pagi sekali, ternyata dugaan dokter benar, bahwa Ainun sudah malas bernafas, sehingga dipanggil di pangkuan -Nya subuh dini hari.
"Kenapa dik Ainun pak..." tanya Radit.. saat melihat tubuh Ainun yang sudah ditutup selimut warna cokelat muda dari rumah sakit.
"Sudah meninggal dik.." kataku.
"O..." jawab Radit singkat.
Tanpa banyak cakap, aku hanya melihat orang tua Ainun yang menangis dan memberesi semua pakaian dan barang untuk pulang. Akupun asyik memandiin Radit, saat Ainun tidak ada. Dan Radit asyik dengan film Sponge Bob yang disukainya.
"Aku nggak suka ditunggui Uti (Mbah Putri)...pak" Kata Radit
"Lho kenapa nggak suka ditunggui Uti?" tanyaku pelan
"Uti itu kaya Squidward..." kata Radit tanpa ekspresi masih melihat tayangan Spong Bob. Squidward tokoh sedikit antagonis di Sponge Bob yang selalu berpamrih dalam segala hal dan tidak puas dengan keadaannya.
"Jangan gitu ah..." aku menghibur Radit.
Hari ini ada visite dari team dokter yang menangani penyakitnya Radit. Dokter Mulat yang berbicara dengan saya, mengatakan bahwa lekosit Radit masih tinggi, nanti akan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan team dokter di Belanda. O ya... bangsal Estella di Sardjito ini merupakan bantuan dari pemerintahan Belanda melalui Estella Fonds.Sehingga tampaknya perkembangan pasien terkadang dikonsultasikan ke sana dahulu ke team dokter di Belanda.
"Radit tidak bisa makan dokter, karena gusinya tampaknya bengkak dan giginya ada yang berlubang" kataku pada dokter Mulat.
"Iya gak papa.. nanti pasti bisa makan ya dik... untuk kemoterapinya nanti saya nunggu email dari Belanda dulu ya.. karena kondisi Radit masih panas, dan lekositnya tinggi sekali, apakah dari Belanda menentukan dosis kemonya setengah dulu atau langsung full" kata dokter Mulat sambil memeriksa kondisi gusi Radit yang mulai menghitam, dan kemudian berbicara pada team dokter yang membantunya.
Keinginan makan Radit sebenarnya masih tinggi, akan tetapi setelah mengunyah beberapa kali kemudian dihentikannya karena sakit giginya. Hal ini yang terkadang membuat aku bingung ingin membantu tapi tidak bisa. Makanan dari rumah sakit hampir tidak tersentuh Radit sama sekali, sehingga aku berusaha untuk mencari tahu makanan apa yang disukai Radit.
Makanan yang paling disukai Radit, tanpa sengaja aku temukan yaitu Tahu dengan isi Bakso, yang betul-betul dihabiskannya kecuali kulit tahu yang cukup keras yang tidak dapat dikunyah Radit. Untuk buah aku cobakan anggur hijau, ternyata disukainya juga. Aku cukup senang Radit makan banyak hari ini, walaupun terkadang nafsu makannya mendadak hilang tanpa sebab. Radit biasanya cukup gemuk, saat sakit saat ini terlihat begitu kurus, dan semakin kurus karena hampir beberapa hari tidak makan sesuai dengan porsinya yang terkadang banyak.
Berat tertinggi Radit sebelum sakit sekitar 35 Kg, dan saat masuk rumah sakit adalah 32,5 Kg, dan setiap hari pasti berat badan Radit menyusut dengan cepat, terlhat dari tubuhnya yang semakin tipis, dan terkesan ringkih, cukup membuat hati ini perih."Kamu sayang bapak nggak..." tanyaku pada Radit
"Sayang...." jawab Radit..
"Maaf bapak sering memarahimu ya dek..."kataku memelas
"Nggak pa pa.. kan Radit nakal" kata Radit cukup dewasa dalam menjawabnya.
"Radit pengen apa... mainan Game apa.." tanyaku
"Ngak pak... ya kalau ada aku mau" jawab Radit sedikit ragu-ragu akan tawaranku.
"Ya entar aku carikan PSP (play station portable).. seperti punya temennya Radit" kataku...
"Boleh pak.... bapak punya uang nggak, kalau nggak punya pake tabunganku saja" kata Radit sedikit berbinar matanya.
"Punya ... kok ntar aku beliin" kataku..
Dalam hatiku masih berpikir biaya darimana untuk segala urusan Radit, masih cukup gelap aku pikirkan. Yang jelas aku masih ada simpanan untuk membeli PSP buat Radit kalau memang dibutuhkan, walaupun mungkin biaya untuk perawatan Radit tentu akan menghabiskan banyak tabungan yang selama ini aku coba kumpulkan. Aku coba hubungi temanku di Semarang untuk meminjamkan PSP, ternyata tanpa hasil. Aku putuskan untuk bertanya pada teman-teman ternyata tidak menyarankan PSP karena cukup mahal dan rumit instalasinya nanti. Sudah terlanjur janji dengan Radit, segala pikiranku dipenuhi dengan bagaimana membelikan PSP buat Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obat Terakhir Raditya
SpiritualCerita ini adalah pengalaman pribadi saya sebagai bapak, yang mendampingi hari-hari terakhir anak saya yang divonis Leukemia. Ingin saya buang kenangan ini, akan tetapi semakin ingin saya melupakannya, semakin kuat saja kenangan ini hadir di setiap...