Masuk Isolasi

268 4 0
                                    

    Saat aku sedang di kantor, tiba-tiba aku dapat sms dari istriku "Pak Radit dipindah ke Isolasi".
Aku jawab "Semoga lebih baik mi" kataku berharap Radit akan lebih tenang dan baik di Isolasi ini karena sendirian dan tidak terganggu dengan aktifitas pasien yang lain. Aku pontang-panting mencari gadget pesanan Radit. Dalam hujan deras aku terobos dengan harapan dapat mengantongi mainan gadget yang diinginkan android. Setelah dapat, aku langsung ke Sardjito untuk menjumpai Radit.
Saat aku datang, Radit sedang mendekap-dekap jaket baru
"Dari siapa itu Dit...? tanyaku
"Dari bulek.... " katanya mantab
"Wah seneng ya...." aku agak girang melihat kondisi Radit yang cukup baik tampaknya.
"Ini aku bawakan Gadget mu.. Android.. tapi belum banyak Game nya.. lumayan ada Angry Bird .. Dit" Aku perlihatkan tablet Android kepada Radit. Aku cukup bahagia karena Radit begitu senang dengan apa yang aku bawa.
"Game nya belum banyak ya .. pak.... tapi gak papa.. bagus pak" kata Radit dengan semangat. Kekecewaan pertama Radit adalah karena tangannya hanya satu yang dapat digerakkan karena terikat infus, maka Radit agak kesulitan memainkannya. Aku hanya mengeluh dalam hati, mengapa Radit selalu bermasalah jika ingin sedikit senang saja. Kemarin ingin sekali makan ternyata gigi dan gusinya sakit, padahal keinginan makannya sedang naik. Sekarang ingin sedikit senang-senang dengan game kesayangannya tangannya susah untuk memegang gadget. Tampaknya Radit bertambah frustrasi dengan keadaan yang mendera bertubi-tubi. Aku dapat merasakan tekanan frustrasi Radit tampaknya sudah diambang batas toleransinya.
Panas tubuh Radit seperti gelombang.. naik turun belum stabil. Setelah masuk isolasi, panas Radit tidak kunjung datar grafiknya. Tampaknya obat kemoterapi justru membombardir tubuh Radit setelah semua cairan Citarabine, Doxorubicine, MTX, dan seluruh antibiotik tampaknya sudah mulai bekerja.
"Lekosit Radit sudah turun drasitis.. mencapai hanya sekitar 140, tapi kekebalannya juga turun drastis pak.. hal ini riskan terjadi Infeksi" Kata dr. Deni suatu saat.
"Panasnya kok tidak turun-turun stabil ya dok?" tanyaku khawatir terhadap kondisi anakku.
"Nanti akan kita coba antibiotik yang lebih kuat pak" Kata dokter Deni menjelaskan.
Kesakitan Radit di kaki masih sering dikeluhkan, saat ini kemudian keluhan di perutnya mulai banyak diakeluhkan.
"Pak.. perutku sakkiiiit sekali pak.. kenapa ini pak..." berkali-kali Radit mengeluh tentang perutnya.
"Aku pijitin supaya sakitnya berkurang ya Dik... pake minyak Tawon" kataku sambil mengambil minyak tawon aku usapkan di perutnya.
"Bapak sambil berdoa ya.... ?" kataku pada Radit.
"Pak tolong ditarik pak sakitnya diserahkan kembali ke Allah pak..." Pinta Radit dengan penuh keyakinan bahwa tangan bapaknya dapat menarik dan mengobati sakitnya Radit.
"O ya bapak dibantu ya... Al-Fatehah dan Al Ikhlas Radit... ayo dibantu doa bapak.." kataku kepada Radit disambut komat-kamit Radit melafalkan kedua ayat pendek hapalannya tersebut.
" Ya Allah, tolong Radit yang sedang sakit ini ya Allah, Perut Radit saat ini sedang sakit ya Allah, bantulah bapaknya Radit untuk menarik semua penyakit Radit ya Allah, kuatkanlah Radit dalam menghadapi semua penyakitnya ini ya Allah, Engkaulah maha penyayang ya Allah, sayangi Radit ya Allah dengan memberikan kesembuhan kepadanya, Ya Allah Radit ingin sembuh ya Allah kabulkanlah permintaan kami ya Allah, sehingga Radit dapat dengan sehat kembali pulang dan sekolah seperti sediakala" Doaku kepada Radit di iringi kata amin panjang dari Radit.
"Pak... masih sakit dan perih pak" kata Radit mulai menangis. Ia coba miring ke kiri, miring ke kanan tapi sakitnya tak kunjung mereda.
"Pak.. panggilin dokter pak... kok sakit sekali" Kata Radit menghiba. Akupun segera menanyakan ke suster jaga kenapa Radit sakit di perutnya, dan suster perawat hanya bilang sepatah kata "Iya" itu saja yang aku dapat. Radit masih kesakitan di sekitar perutnya, dan aku hanya bisa memberikan elusan dan pijitan dengan menggunakan minyak Tawon kesenangan Radit. Karena begitu sakitnya, Radit sekarang sudah lupa dengan Game Boy, dan Gadgetnya walaupun terkadang memainkan sebentar kemudian berhenti.
"Pak panggilin suster pak... tolllong pak..." kembali Radit memintaku untuk memanggilkan suster perawat. Akupun mencoba menenangkan Radit, suster nanti pasti datang sebentar lagi. Akupun tidak enak memanggil suster dan dokter berkali-kali hanya karena Radit sakit perut biasa.
Obat kemoterapi tampaknya mulai terlihat efek sampingya, terutama rambut Radit yang mulai rontok. Di mana-mana rambut Radit ada dan bertebaran, menandakan tingkat rontok rambut Radit sudah sedemikian parah. Aku herannya rambut Radit masih terlihat tebal dan banyak, hal ini karena rapat dan tebalnya rambut Radit sehingga belum kelihatan habis rambutnya. Aku ambil sapu untuk mengumpulkan rambut Radit yang ada di mana-mana, dan ternyata cukup banyak yang rontok.
"Pak pijitin lagi pak.. perut Radit... atau punggunya pak... sakit sekali pak..... agak keras... ya pak" pinta Radit setiap waktu. Akupun selalu memijitnya setiap Radit meminta pijit.
"Bapak capek ya... kok pijitnya pelan" kata Radit protes
"Nggak .. nanti kalau keras-keras trombocit mu bisa pecah" kataku menjelaskan.
Di ruang isolasi ini, sakit Radit yang paling sering adalah sakit perutnya di samping panasnya yang tidak pernah stabil. Kekebalan Radit memang diambang menghawatirkan karena semua tentara penghancur kuman sudah tidak ada lagi.
"Antibiotik adik Radit akan kami tingkatkan pak, kami akan memberikan antibiotik yang paling kuat, setelah semua antibiotik tidak mempan melindungi adik Radit pak" kata dr. Deni menjelaskan.
"Baik pak.. tolong anak saya dok... yang terbaik buat anak saya pak" kataku kepada dr. Deny.
"Begini pak, antibiotik ini harus bapak amprah.. akan tetapi waktunya saat ini tidak tepat untuk amprah, sebaiknya bapak membeli dahulu obat ini supaya cepat tertangani infeksi adik Radit pak" kata dr. Deny
"Nggak pa-pa pak.. tolong dibantu saya pak" kataku memelas. Dr. Deni sosok dokter yang tingkat perhatiannya terbaik di bangsal ini. Sehingga aku cukup tenang jika ada dokter Deni ini. Sayang sebentar lagi dr. Deni akan berpindah tugas.. hal ini cukup merisaukan aku mengingat dr. Deni cukup paham dari awal kondisi anak saya.
"Begini pak, antibiotik yang akan kami berikan adalah Meropenem.. harganya cukup mahal pak mungkin sekitar 500rb.. padahal adek Radit butuh hingga 5 hari ke depan" kata Dr. Deni menjelaskan.
"Gak pa-pak pak Dokter, saya beli dahulu untuk kebaikan Radit.. nati biar diganti saat amprah obat" kataku
Tampaknya istriku setuju kemudian mencari antibiotik Meropenem buat Radit. Kami beruntung karena mendapatkan Meropenem Generik seharga sekitar 300 rb, yang kami beli untuk 3 hari ke depan. Dan nanti akan dievaluasi bagaimana efek Meropenem terhadap infeksi Radit.
Apabila ganti antibiotik baru, pasti akan ada test alergi dan betul juga Radit kembali di siksa dengan suntik test alergi. Dengan tanpa ekspresi apapun perawat akan menyuntikkan test obat ke kulit ari Radit, dengan meninggalkan tangis putus asa anak ini. Akupun nelangsa melihat anak ini terisak-isak dalam tangisan tanpa pengharapannya.
"Maisih ingat Radit.. suntik tidak sakit hanya untuk sembuh Radit...." kataku menghibur.
"Bapak bisanya ngomong begitu.. coba bapak yang disuntik... sakiiit pak" Radit mulai protes kepadaku. Sensitifitas Radit bertambah saat sakit perutnya semakin menjadi-jadi, dan aku herannya dokter tampaknya memandang remeh penyakit perutnya Radit dengan hanya mengatakan.
"Perutnya tidak apa-apa kok.." sambil memegang perut Radit. Terkadang akupun menjadi lebih tenang.. lha wong dokter aja bilang gak papa
"Ini hanya mencret biasa kok, sudah saya dengar stetoskop.. ini mencret biasa kok.. ususnya gak papa" penjelasan dokter menguatkan dugaanku bahwa sakit perut Radit adalah hal yang biasa.
Bahkan prof. Taryo mengatakan
"Mencret gak pa pa nanti malah lebih baik.. ini ada suara di perut menandakan mau mencret ini" kata prof. Taryo waktu aku lapor tentang sakitnya Radit. Aku tidak habis pikir sakit perut Radit hampir 24 jam dirasakan Radit.. akan tetapi semua dokter bilang tidak apa-apa aku menjadi semakin gelisah saja. Radit kesakitan setiap detik, menit, jam, kalau dia bangun sehingga betul-betul saat di Isolasi aku tidak tidur sama sekali. Aku tertidur dalam duduk, menunggui Radit yang kelelahan menahan sakit perutnya. Emosi Radit terkadang meledak-ledak jika sakit perutnya tidak tertahankan.
"Pak... panggilkan dokter pak... cepat pak ke sini... paakkkk piye to.. pak ini sakit sekali paaak" rintihan Radit saat ini. Keinginan pulang nya tampak lenyap karena tertimbun sakit perut dan sakit linu kaki. Sakit perut Radit tampaknya tak tertahankan .. sehingga rintihannya semakin keras teriakannya. Radit yang biasanya santun, saat sakit.. ia bisa teriak-teriak kesakitan.. hal ini sungguh sangat berat menghadapi keluhannya.
Dokter menganggap remeh sakit perutnya Radit, sedangkan Radit selalu teriak-teriak minta dipanggilak suster atau dokter. Apabila Radit melihat suster atau dokter melintas.. pasti akan teriak-teriak
"Suster.. dokter ke sini... Radit sakit ... suster.. sakit sekali ... dokter sini dokter...!!" biasanya Radit akan berteriak seperti ini. Akupun terkadang ke luar untuk menanyakan keadaan sebenarnya Radit bagaimana. Selalu jawabannya "tidak apa-apa pak .. itu biasa" sehingga aku menjadi yakin bahwa sakit perutnya Radit tidak begitu membahayakan, sehingga akupun terbawa sikap dokter yang menganggap sakitnya perut Radit adalah hal yang biasa.

Obat Terakhir RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang