Hari-hari awal di Estella

533 19 1
                                    

Hari pertama, anakku mulai kangen rumah dan selalu pengen pulang. Istriku sudah tidak tahan jika anakku mulai rewel menangis dan ingin pulang. Akhirnya aku yang menunggu selama Radit dalam perawatan. Pekerjaan aku tinggalkan sementara, karena support kepada psikis anakku diperlukan. Suntik adalah ketakutan pertama anakku, dan nafsu makan melorot drastis serta ditambah dengan radang pada tenggorokan menjadikan asupan makanan yang masuk ke lambungnya hanya sedikit sekali pada hari pertama ini.
"Pak... aku pengen pulang pak...." itu kata pertama setiap pagi yang aku dengarkan. Aku tak kuasa menahan beban ini akan tetapi tetap aku katakan pada anakku tentang kepastian pulang secepatnya setelah penyakitnya sembuh.
"Aku takut disuntik pak... aku nggak mau disuntik pak... sakiiiit sekali pak" rengek anakku apabila rasa takut disuntik sudah menjalar menguasai pikirannya.
"Tidak apa-apa nak.. suntik untuk sembuh.. nanti pasti sembuh" Kataku menguatkan anakku.

Langkah pertama untuk menanggulangi penyakit ini adalah kepastian pembiayaannya. Berkali-kali dokter mengatakan coba diurus asuransi, jaminan kesehatan, atau adakah pembiayaan dari kantor tempat aku bekerja. Dokter mengatakan bahwa penyakit anakku tergolong penyakit katastropis, artinya membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Penyakit berjenis katastropis ini mendapat tanggungan pemerintah sehingga disarankan untuk mencari Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang akan menjamin semua pembiayaan, atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), atau Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos). Jika tidak dapat mengurus semua jaminan tersebut, maka keluarga pasien akan melalui jalur umum dengan membayar sendiri semua biaya pengobatan rawat inap, dan semua obat dan tindakannya.
Aku baru sadar pada pertanyaan prof. Taryo saat aku dan istriku berkonsultasi di tempat praktiknya tentang pembiayaan ini. Ternyata ada hubungannya dengan penyakit anakku yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Usaha untuk mencari Jaminan, merupakan usaha yang sungguh sangat berat dan panjang prosesnya. Untunglah keluargaku dan istriku cukup kompak untuk saling membantu mencari informasi tentang jaminan kesehatan yang masih ada, mengingat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang dikeluarkan pemerintah tampaknya sudah dihentikan.
Akupun berpikir untuk menjual semua asset yang aku punya seperti tanah, rumah, dan barang yang lain untuk memersiapkan pembiayaan anakku sampai sembuh. Semua akan aku gunakan untuk kesembuhan anakku. Angin segar menerpa kami, setelah pengajuan permohonan Jaminan Kesehatan Daerah Kota tempat anakku berada ternyata masih bisa diurus dan berhasil didapat. Kepastian pembagian pembiayaan masih belum jelas, banyak yang menyangsikan besaran bantuannya, ada pula yang mengatakan sudah lumayan ada Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) daripada tidak sama sekali.
Informasi besar bantuan masih simpang siur, ada yang tergantung daerahnya, ada yang tergantung penyakitnya, ada yang mengatakan besaran di Kota Jogjakarta hanya sampai 15 juta. Semua masih membikin bingung keluargaku yang tidak siap menghadapi hal-hal baru tentang pembiayaan Jaminan Kesehatan yang informasinya dahulu tidak kami hiraukan.
Istriku dan keluarganya ternyata cukup sigap untuk mencari berbagai alternatif pembiayaan, seperti dari koran, dari LSM tertentu, maupun dari Yayasan Kanker Indonesia. Aku sudah bisa membayangkan betapa kekayaan di sini tidak ada artinya. Semua asset yang aku punya pasti akan tersedot habis untuk membiayai kesembuhan anakku. Inilah yang disebut dengan katastropis, penyakit yang memelaratkan keluarga penderita.
Keingingan, dan kangen pulang anakku semakin bertambah setiap harinya. Hal ini tentu dapat aku pahami karena anakku paling suka di rumah dan jarang sekali bermain keluar. Dia sangat nyaman sekali di rumah apalagi setelah aku buatkan rumah di sisi belakang rumah lama untuk kedua anakku. Rumah menjadi istananya, yang sungguh sangat dia kangeni jika berada jauh dari rumahnya.

" Pak.. aku pengen pulang pak.. di sini nggak enak pak..." Sambil menangis kata-kata ini yang selalu setiap pagi keluar sambil menangis.
"Sabar dik.. sembuh dulu baru pulang.. ayo berdoa biar sembuh sakitmu" kataku, dan anakku biasanya terus memejamkan mata sambil mendengarkan doaku.
"Dik.. pusing nggak, sesak nafas nggak, mata berkunang-kunang nggak, telinga berdenging nggak?" tanya dr. Deni yang merawat anakku. Pertanyaan ini selalu ditanyakan saat memeriksa anakku, sehingga tampaknya urutan pertanyaan ini menjadi default awal dr. Deni ketemu Radit anakku.
Dr. Deni sosok dokter muda yang cekatan sedang mengambil spesialis anak. Dokter inilah yang telah begitu baik selalu menyambangi anakku dan bercanda bersenda gurau dengan anakku sehingga terkadang lupa terhadap kangen pulangnya.
Suatu saat aku dan istriku bertanya kepada salah satu suster kepala yang membantu dr Deny, apakah kelas 3 sudah ada kamarnya. Ternyata jawaban suster kepala cukup ketus dengan mengatakan bahwa di kelas 2 nanti aku tetap dianggap sebagai pasien umum, bukan pasien tanggungan Jamkesda. Suster kepala yang seharusnya menjelaskan dengan santun, aku dengar cukup keras dan kaku jawabannya. Walaupun demikian aku masih berpikir positif bahwa mungkin karena seringnya pasien protes ke dirinya menjadikan penjelasan ketus yang kami terima.

Obat Terakhir RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang