Kemoterapi

588 11 0
                                    

Aku cukup suntuk karena kabar baik yang aku tunggu terkadang tidak muncul, bahkan adanya kabar yang kurang mengenakkan perkembangan kesehatan anak saya. Rasa optimis selalu muncul, walaupun pesimis pasti selalu ada setiap melihat perkembangan anakku yang datar saja tanpa kemajuan berarti. Harapanku semoga setelah kemoterapi anakku membaik dan diperbolehkan pulang selama 3 minggu pada jadwal protokol yang aku terima. Total waktu yang dibutuhkan perawatan AML ini adalah 14 minggu jika lancar. Protokol AML merupakan jadwal pengobatan yang dipadatkan, karena kondisi pasien yang cukup cepat perkembangan lekositnya.
Atas email dari Belanda, kemoterapi Radit harus segera dilakukan dengan dosis full, walaupun keadaan Radit tampaknya masih belum fit benar untuk melakukan kemoterapi. Suhu tubuh Radit yang naik turun setiap hari membuat akupun sedikit khawatir. Obat kemoterapi telah didapat sehingga tampaknya infus kemoterapi segera dimasukkan.
Periode suntik ambil darah, ganti infus, tusuk jari untuk ambil darah, test alergi yang cukup menyakitkan tampaknya cukup meyiksa Radit. Setiap kali ada perawat yang lewat membawa peralatan suntik, Radit pasti ketakutan tidak karuan. Penderitaan Radit tampaknya akan bertambah dengan pengambilan sampel melalui sumsum pinggangnya atau disebut BMP(Bone Marrow Puncture).

Saat proses BMP tampaknya Radit belum menyadari akan dilakukan penyuntikan, kemudian setelah masuk ruang tindakan Radit mulai sadar dan meronta ketakutan. Bius tampaknya membuat Radit mengantuk, dan setengah tidak sadar Radit mulai dilakukan proses BMP.
Proses BMP cukup cepat, dan Radit segera dibawa keluar ruang Tindakan dan kembali ke bangsalnya, dengan kesadaran yang belum pulih karena terlihat kebingungan Radit saat mendapati bapaknya sudah di bangsalnya kembali.
"Tadi aku diapain pak... kayaknya tadi bapak menggendong Radit..., terus aku lupa.. kok sudah ada di sini lagi" kata Radit kebingungan.
"Tadi kamu diobati.. nggak pa pa biar cepet sembuh ya.." kataku menjelaskan
"Nggak aku tadi sama bapak di ruangan sana.. diapain pak... terus tiba-tiba kok sudah ada di sini" kata Radit tidak percaya penjelasanku.
"Sudah yang penting cepat sembuh ya..."kataku menutup pembicaraan tentang proses BMP.

"Kok aku bingung... ya... tadi aku di ruangan itu.. terus tiba-tiba kok sudah ada di sini.... Aaaah bingung aku" kata Radit kebingungan sendiri.
Setelah obat bius Radit berangsur menghilang, sakit yang luar biasa dirasakan Radit pada pinggulnya. Berkali-kali Radit menahan sakit pinggul yang diambil darah sumsum tulang belakangnya. Belum lagi teringat jadwal pengambilan darah, besuk cukup membuat Radit kembali stress dan tegang.
"Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit"... berkali-kali Radit mengucapkan mantra ciptaanku, walaupun tidak begitu banyak membantunya menanggulangi ketakutan suntik esok harinya.
Sakit Radit bertambah, dengan tambahan suntikan BMP, keluhan Radit saat ini tidak hanya kaki yang linu-linu, akan tetapi pinggulnya yang semakin nyeri. Hampir setiap hari aku tidur antara jam 2-4 pagi menunggui Radit yang terkadang susah tidur saking sakit kaki dan persendiannya. Siksaan rasa sakit Radit memang membuatku hancur dan remuk rasanya, walaupun selalu aku sembunyikan dengan rapat di depan Radit maupun istriku. Saat mandi, adalah saat yang paling tepat untuk menumpahkan tangisku tanpa dilihat oleh Radit dan istriku.
Keluhan demi keluhan aku tampung, terkadang meluber karena tidak kuatnya tampunganku dan aku buang dengan sisa tenagaku. Radit semakin lemah karena asupan makanan yang diterimanya semakin sedikit. Tampak berat badan anakku turun drastis, ditambah dengan gusinya yang menghitam, membuat istriku semakin tidak kuasa menahan perasaannya jika di depan Radit. Hal ini tampaknya membuat Radit tidak suka, sehingga istri sayapun tidak berani menunggu lama-lama Radit. Hiburan-hiburanku adalah hayalan jika Radit sembuh nanti, seperti permintaan Radit untuk jalan-jalan sama bapaknya sendiri ke Gembira Loka. Pengen naik pesawat kembali ke Jakarta hanya bersama Bapak. Ke tempat Oom di Bandung lagi dan beberapa cerita yang membuat Radit bersemangat untuk sembuh.
Musuh utama selain keluhan rasa sakit Radit yang tidak pernah berhenti, adalah kangennya untuk pulang dan kembali sekolah. Entah mengapa aku selalu tidak suka dengan kata "pulang" yang selalu dikatakan Radit dengan derai air mata dalam kesakitannya. Terkadang Radit mengeluh panjang karena sakit yang tidak tertahankan, sambil mencoba mencari posisi tidur yang nyaman walaupun tampaknya sia-sia ia lakukan.
Setelah aku mandikan pagi ini, Radit selalu melihat ke anak baru yang masuk ke bangsal kami, namanya Dimas, anak 3 tahun yang terkena Leukemia. Anak ini makannya banyak, dan bermacam-macam bisa masuk. Tampaknya Radit pengen sekali seperti Dimas yang dapat makan apa saja. Saking tidak tahannya ingin makan mie ayam, Radit memohon-mohon dengan memelas kepadaku untuk minta mie ayam.
"Pak... sedikiiiiiiit aja pak, aku sudah nggak tahan pak...." akhirnya aku pesankan mie ayam Radit melalui SMS ke istriku. Sayangnya oleh dr. Deni mie ayam tersebut dilarangnya karena mungkin kurang higienis. Sedangkan Radit sangat sensitit terhadap kebersihan makanan tersebut. Karena kebingungan, akupun putus asa untuk meladeni Radit. Untung Radit masih mau aku suapin Tahu Bakso yang dibelikan oleh para pembesuk Radit di luar bangsal Estella.
Gigi dan gusi Radit tampaknya semakin parah dengan keluarnya darah segar, walaupun tidak terasa oleh Radit. Hal inilah menjadikan makanan-makanan yang keras dilarang oleh dokter supaya tidak memperparah gusinya. Sikat gigi juga aku hentikan karena gusi Radit yang memerah, terkadang darah kering di mulutnya cukup banyak sehingga agak sulit membersihakannya.
Keinginan Radit makan yang sangat mengharukan adalah saat Dimas, teman di samping Raditya makan alen-alen. Makanan dari singkong yang terkenal di daerah Kebumen. Aku tahu Radit ingin sekali, akan tetapi kondisi gusi Radit tidak diperbolehkan makanan yang keras-keras seperti alen-alen. Keinginan Radit makan Alen-alen sudah sangat tidak tertahankan lagi, dengan memohon-mohon sembah kepadaku untuk makan sedikit alen-alen membuat aku tak tahan lagi.
"Mbak aku minta alen-alen sedikit ya...untuk Radit yang pengen sekali makan alen-alen" kataku kepada ibunya Dimas. Dengan sigap ibunya Dimas memberikan satu kantong alen-alen yang kemudian aku berikan kepada Radit. Cara makan Radit sungguh tidak terbayangkan, dengan lahapnya ia masukkan Alen-alen dan kemudian dikunyahnya. Satu, dua, tiga alen-alen aku hitung masuk ke mulutnya Radit. Tampak Radit menikmati rasa alen-alen itu, dan menyadari bahwa mulutnya tidak begitu enak untuk mengunyah. Terbukti setelah alen-alen ke tiga, Radit kemudian menyerahkan kantong sisa alen-alen ke bapaknya.
"Huuuh... aku puas pak... bisa makan Alen-alen...." kata Radit.... sungguh sesuatu yang mengharukan melihat ekspresi kesenangan Radit dalam kesakitannya.
Karena trombosit Radit yang semakin menurun, maka oleh dokter Danny disarankan untuk transfusi darah jenis TC atau trombosit concentrate. Dokter meminta 7 kantong TC, untuk disiapkan, sehingga aku dan istripun mengontak beberapa teman yang mempunyai golongan darah yang sama dengan anakku, yaitu golongan darah A. Tidak terlalu sulit mengumpulkan 7 orang, karena aku sudah mempersiapkan teman-teman kantor untuk siaga jika aku membutuhkan darah. Aku berharap keadaan Radit membaik setelah trombocitnya ditambahkan ke tubuhnya melalui infus.
Kembali lagi apabila teringat tubuh Radit yang semakin kurus, karena susah makan, rasanya sakit sekali menghujam di dalam hati..... mengapa anak ini harus menanggung sakit yang begitu hebatnya. Rasa tidak terima, akan kondisi seperti ini benar-benar menyiksa. Radit kesakitan, sementara aku harus bertahan supaya semua tidak kalut. Aku coba tabah dan tetap semangat menemani Radit dalam keadaan yang sangat sulit ditentukan. Kekhawatiran akan kondisi Radit yang tidak membaik aku simpan dalam-dalam supaya istriku, dan Radit sendiri tetap melihat aku sebagai sosok yang kuat, tegar, dan tabah.
Transfusi TC, hanya membuat gusi Radit sedikit cerah warnanya, dan aku berharap kondisi ini akan membaik menjelang kemoterapi dalakukan. Panas Radit masih turun naik, setiap 4-5 jam aku harus memberikan obat penurun panas. Saat Radit akan panas, kakinya pasti dingin sekali, sehingga aku gosokkan minyak kayu putih untuk membantu menghangatkan kakinya. Minyak yang disukai Radit adalah minyak tawon. Setelah aku berikan obat penurun panas, Radit biasanya berteriak-teriak kepanasan tubuhnya. Kemudian keringat akan mengguyur badannya, sehingga suhu tubuhnya kembali ke sedia kala. Pantauan suhu badan terkadang aku lakukan setiap jam untuk melihat perkembangan infeksinya. Infeksi adalah musuh nomor satu penderita Leukemia, sehingga aku harus mencoba meminimalisir kontak secara langsung dengan Radit. Alkohol di sediakan di setiap ruang, sehingga penunggu dapat membasuh tangannya untuk menbunuh kuman yang tidak terfilter cuci tangan biasa. Masker selalu aku gunakan, karena Radit dari dahulu tidak suka bau mulutku. Baju steril terkadang aku gunakan supaya Radit tidak terganggu bau tubuhku, dan sekaligus menghindari kontak langsung kulit Radit.
Pada saat di kelas 2, masker dan baju steril wajib digunakan, mengapa di kelas 3 ini banyak penunggu yang tidak menggunakan masker dan baju steril? aku sering bertanya-tanya sendiri. Seharusnya tanpa diperintah semua penunggu harus bermasker dan menggunakan baju steril. Banyak dokter dan perawat juga tidak menggunakan masker dan baju steril, apalagi pengunjung lain, yang terkadang sudah merasa lama di bangsal menjadi sedikit angkuh terhadap penghuni baru. Banyak dari mereka tidak menggunakan baju steril, penutup muka, menggunakan alas kaki. Ngeri juga, kalau mereka tidak disiplin apalagi anakku sangat rentan terkena infeksi.

Obat Terakhir RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang