Stories 6

27 1 0
                                    

Aku membuka mata, Novan masih terlelap. Aira dan Dio juga. "Jam berapa ini?" batinku bangkit menatap seisi ruangan.

Ruangan kamar sedikit sempit. Mungkin sangat sempit kukira. ¼ luas kamarku di rumah.

Aku merindukan rumah. Saat ibu sibuk didapur, saat aku dan kakakku bertengkar, dan melihat ayah yang sibuk dengan korannya. "Aku merindukannya." Ucapku lirih.

"Nara? Kau sudah bangun?" tanya nenek Sao muncul. "Aaahhh, nenek... Aku baru saja bangun. Jam berapa ini?" tanyaku.

"Baru jam 5. Kau adalah gadis rajin sepertinya." Ucap nenek Sao tersenyum. Aku bangkit lalu mendekati nenek Sao, "Aku sudah terbiasa nek." Ucapku.

"Kau mau membantu Mey di dapur?" tanya nenek Sao. Aku tersenyum, "Tapi aku tak bisa masak nenek..." ucapku tersipu. "Mey akan mengajarimu." Hibur nenek Sao.

"Akan masak Mey apa hari ini?" tanya nenek Sao bergumam. "Pasti enak..." ucapku. Tak lama, aku melihat sebuah ruangan yang nenek Sao ebut dengan dapur.

Kulihat ada Mey dan seorang wanita paruh baya disana, mungkin ibunya. Mey menoleh menatapku tajam. "Selamat pagi..." sapaku kikuk.

"Pagi..." ucap wanita paruh baya itu menoleh kearahku. "Nenek Sao bilang, aku bisa belajar memasak disini. Apa aku boleh, Bi?" tanyaku.

"Kemarilah. Kau bisa belajar sebanyak apapun." Ucap ibu Mey ramah kearahku. Sedangkan Mey? Tatapannya masih begitu tajam. Apa ia membenciku? 

"Nenek tinggal ya, Nara?" aku mengangguk cepat menjawab ucapan Nenek Sao yang nampak berbalik menjauh dari dapur.

"Potong sayuran ini, seperti ini." Ucap ibu Mey dengan perlahan memotong sayuran, memberitahukan padaku cara memotongnya.

"Bibi, tinggal ke kebun belakang ya, mengambil beberapa sayuran lagi." "Hati-hati, bibi." Ucapku mengambil pisau lalu memotong sayur dihadapanku.

"Selamat pagi..." Novan baru bangun. Rambutnya bahkan sangat berantakan. 

"Pagi..." balas Mey. Aku pun ikut menoleh, "Pagi, Van..." ucapku. Aku melupakan pisau yang masih digerakkan tangan kananku.

Crasshhhhh... "Aaaahhhh!!!" Aku langsung melepas kendali pisau itu setelah salah satu jariku teriris karenanya. "Ra!?" panik Novan berlari kearahku. 

"Aaahhh, berdarah!? Aku ambilkan obat dulu." Ucap Mey berlari kedalam rumah.

"Kau ini!?" Dengan cepat, Novan mengecup jariku, seperti hendak menghisap darahku. "Aaahh, Novan sakit!?" Novan melepasnya lalu menyiramkan air dingin ke jari-jariku.

"Ini, Novan. Obatnya." Ucap Mey langsung membawakan beberapa perban dan minyak disana. "Ini bisa digunakan? Minyak apa ini?" tanya Novan. 

Mey mengangguk, "Tentu saja bisa. Olehskan ke lukanya!" perintah Mey gemas.

Novan langsung meneteskan minyak itu ke jariku. "Pelan-pelan!?" panikku. "Diamlah, Ra." Cetus Novan. sahabatku satu ini begitu cekatan. Ia membungkus jemariku rapi dengan perbannya.

"Selesai." Ucapnya. "Kau tak apa?" tanya Mey padaku. "Aku tak apa. Terimakasih obatnya." Ucapku tersenyum. Mey kembali berbalik, meninggalkanku dan Novan.

"Kau ini, berhati-hatilah!?"omel Novan. Aku mendongak, karena Novan jauh lebih tinggi dariku. Tinggi badannya hingga 170 cm, Sedangkan aku? 160 saja tak sampai. Hanya 157 cm.

"Kenapa kau memarahiku?" cetusku. "Aku tak memarahimu!? Lihat dirimu!? Kau tak bisa menjaga dirimu sendiri seperti ini!?" cetus Novan. 

Aku hanya diam jika Novan mengomeliku, apalagi ini murni kesalahanku sendiri.

Wind of ErchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang