Empat pasang mata kami memperhatikan sekeliling. "Penjaga museum ini banyak." Umpat Dio.
"Tentu saja?! Karena didalam gedung tua itu banyak benda berharga. Termasuk para marga." Ucap Aira kesal memukul kepala Dio.
"Ayo, alihkan mereka." Ucap Novan mengeluarkan api dan langsung melemparnya kesemak kering di ujung halaman museum.
Buuugghhh... Api langsung muncul dan menarik para penjaga pintu depan untuk memeriksanya.
"Hei!? Ada api!?" teriak salah satunya keheranan karena baru saja hujan reda dan sekarang api berkobar begitu stabilnya.
"Ayo..." bisik Novan menarik tanganku. Aku langsung serta merta berlari mengikuti langkah cepat Novan yang lebar.
Sesampainya di dalam museum. "Gelap sekali?" gumamku mencengkeram tas Novan. "Ada aku." Ucapnya kali ini menyalakan api sehingga cahaya samar-samar memenuhi ruangan.
"Kau tahu dimana para penjaga itu?" tanya Aira.
"Aku sudah melacaknya." Ucap Dio mengeluarkan denah museum. "Di ruang depan." Ucap Dio akhirnya memimpin.
Kami berempat mulai menyusuri lorong museum seperti pencuri. Aku menoleh kesana kemari, khawatir jika ada cctv yang menangkap tingkah kami.
"Apa disini ada cctv?" bisikku. "Tidak." Balas Dio berbisik. "Aku sudah memadamkan listrik di museum ini." Ucap Dio santai.
"Bagaimana bisa?" tanya Aira.
"Thunder, ra. Ingat?" celetuk Dio. Aku hampir lupa soal itu.
6 meter didepan kami, sudah terlihat ruangan museum yang megah.
"Kita menemukannya kawan!?" ucap Dio girang.
"Apa itu mereka?" tanyaku melihat 7 bola kristal disusun rapi melingkar di pusat ruangan. "Itu indah..." ucap Aira.
"Keluarkan buku itu, Dio." Ucap Novan.
Dio menjatuhkan dan mengaduk isi tas itu. Sebuah buku setebal 10 cm dengan sampul coklat kusam di bukanya halaman per halaman hingga ia menemukan yang ia cari.
"Ini dia." Ucapnya tersenyum. "Untuk membebaskan para Marga. Para generasi harus membangunkannya dengan elemen mereka sendiri. Apa maksudnya?" tanya Dio. Aku mengerti.
"Mana penjaga Wind, Dio?" tanyaku mendekati bola-bola itu.
"Ia akan bersinar dengan sendirinya. Ayo kita coba." Ucap Dio menyusulku. Aira dan Novan pun menyusul.
Aku menatap bola-bola itu, dan akhirnya aku berdiri dihadapan bola kristal berwarna hijau. "Aku suka warna hijau." Ucapku.
Tak lama bola itu memancarkan sinar terangnya. Sinar itu lalu melesat ke atas, hampir menyentuh langit-langit di ketinggian 25 meter itu.
"Aaaahhh?!" kejutku melihatnya. "Nara!? Elementnya." Peringat Novan. Aku hampir lupa.
Au pun menembakkan angin kearah bola itu cepat. Sinar itu meredup dan memunculkan seseorang di langit-langit.
"Siapa dia?" batinku menatapnya tak berkedip.
Seorang laki-laki tinggi dengan kulit putih dan tangannya yang kekar membuatku tak bisa berkedip. Laki-laki itu mendarat mulus menyentuh permukaan tanah tepat didepan mataku. Dia tampan.
Matanya yang masih terpejam akhirnya perlahan terbuka.
"Kau yang dipilih?" Suaranya yang berat membangunkanku dari lamunanku. Aku menggeleng cepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wind of Ercha
FantasíaHai, namaku Nara. Aku seorang gadis berusia 16 tahun. Otomatis kalian akan tahu jika aku masih duduk di bangku kelas 11 SMA. Aku bukan gadis biasa. Aku memiliki Marga Element yang bernama Wind. Yang paling kuat, paling sulit dikendalikan dan yang p...