Stories 5

49 3 0
                                        

Kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, hanya Dyro dan Liam lah yang jadi teman bicaraku. 

"Dyro, apa kau pikir Elyp akan seperti dulu? Maksudku apa manusia tidak merubahnya jadi sebuah kota mungkin?" tanyaku.

"Entahlah. Tapi aku berharap Elyp masih sama." ucap Dyro. "Beberapa meter lagi kita tiba di perbatasan." ucap Seza. Tapi Erga yang berada di barisan paling depan sudah berhenti.

"Erga?" panggilku. Erga membeku bersama Aira disampingnya. "Pusat itu ditutupi kota..." ucapnya. "Tidak!? Jangan lagi!?" umpat Dio.

Aku segera berlari menyusul rombongan dan mendapati sebuah kota megah berdiri disana. "Sialan." umpat Novan.

Aku menghembuskan nafas kasar. "Kita harus kembali melacak titik itu untuk kembali ke Ercha." ucap Seza. "Khyo, kupikir akan mudah jika kita beristirahat di kota itu sejenak. Sambil kita mencari informasi mengenai titik gerhana yang kau maksud itu." ucap Novan.

"Ide bagus nak. Kita bisa menyamar." ucap Khyo kembali berjalan.

"Apa kita akan baik-baik saja, Liam?" tanyaku. "Tentu saja. Ada kami semua yang akan melindungi kalian. Tenanglah." ucap Liam mengelus kepalaku. 

*** 

"Hei!? Ayo percepat keretamu!?" Kekacauan di kota itu membuatku melongo.

Kota itu begitu gelap, dan pengap. Beberapa orang berteriak marah karena terjadi kemacetan disana-sini. Sialnya aku harus beberapa kali ikut mengumpat karena tertubruk beberapa orang yang bertubuh lebih besar dariku.

"Kau baik-baik saja?" tanya Dyro nampak khawatir karena tubuhku mulai lemas dan sedikit merasakan nyeri di lenganku.

"Aku tak apa." ucapku kebali menatap jalanan. Brukkkk!!! Tubuhku terpental menghantam seseorang. "Aaaahhh!!" teriakku sudah tak tahan.

"Hei!? Pakai ma..." ucapanku terhenti saat menyadari seorang gadis seusiaku juga terpental. "Maaf..." gadis itu dengan cepat bangkit dan kembali berlari.

"Sialan!?" umpatku dalam hati. "Kau tak apa nak?" tanya Seza sedikit panik, "Tak apa Seza. Asal lenganku tak robek lagi, aku baik-baik saja." ucapku.

"Ayo aku gendong, mungkin kau sudah kelelahan." tawar Liam akhirnya menggendongku di punggungnya. "Maaf merepotkanmu, Liam." ucapku.

"Tak apa, aku mengerti. Aku tahu kau sudah sangat lelah." ucap Liam. "Kita akan segera sampai. Jadi tenanglah." hibur Dyro.

"Gadismu... Dia tak apa?" tanya Khyo. "Kita akan segera tau setelah kita tiba di tempat Sao." ucap Seza.

"Mecha, siapa Sao?" tanya Novan mendongak ke arah Mecha. "Dia penjaga di titik gerhana. Mungkin ia akan membantu." ucap Mecha.

***

Beberapa jam menyusuri kota, kami menemukan semua pondok kecil di dekat pusat kota. "Sao..." panggil Erga mengetuk pintu. Tak lama, seorang nenek tua keluar dari pondok itu.

"Ahh, kalian. Ayo cepat masuk!?" nenek tua itu seperti panik. Kami segera masuk kedalam pondok berukuran 4x7 meter itu.

Liam mendudukkanku di kursi kayu di ruang depan, tepat disamping jendela, membuatku leluasa melihat keadaan luar.

"Kenapa Elyp jadi seperti ini?" tanya Erga. "Ini ulah manusia dan jangan melotot kearah nenek tua ini." ucap nenek itu merngerutkan dahi.

"Maksudku, kenapa di kota ini jadi pusat keributan!? Lihat mereka!? Bahkan anak gadisku jadi korban oleh seseorang yang menabraknya." cetus Seza.

"Iva yang mengacaukannya. Jangan salahkan aku." ucap Nenek Sao menghampiriku. "Kau tak apa nak? Apa margamu?" tanya Nenek Sao perhatian padaku.

"Aku tak apa, nek. Jangan dengarkan Seza. Dia begitu pemarah belakangan ini." ucapku tersenyum.

"Tunggu ya, aku akan panggilkan cucuku. Mey!?" Teriak nenek Sao keras membuatku sedikit terkejut. "Nenek, aku tak apa..." ucapku.

Seorang gadis muncul dari arah dapur membawa poci dan beberapa gelas. "Kamu!?" teriakku kaget. Dia gadis yang menabrakku tadi.

"Aaaahh??? Maafkan aku soal tadi." ucapnya membungkukkan tubuhnya kearahku. "Jadi Mey yang menabrakmu tadi anak manis?" tanya nenek. Aku mau tak mau harus mengangguk. "Mey? Kenapa kamu lari dan tidak menolongnya dahulu?" omel nenek Sao.

"Aku buru-buru, nek. Kau bilang aku harus segera tiba dirumah membawa bahan makanan untuk tamumu. Aku tak tahu jika mereka adalah tamumu." ucap Mey meletakkan minuman di meja. "Silakan..." ucapnya menunduk.

Aku menatapnya kagum. Wajahnya cantik, kulitnya sawo matang, perawakannya kecil tinggi dengan pakaiannya yang serba warna hitam.

"Berapa usiamu nak?" tanya Seza pada Mey. "Aku 17 tahun, Tuan." ucap Mey tersenyum. "Kemana orangtuamu?" tanya Mecha. "Orangtuaku sedang pergi. Mungkin nanti sore baru kembali." ucap Mey undur diri kembali ke dapur.

"Apa marga cucumu, Sao?" tanya Liam. "Dia punya marga?" batinku.

"Dia marga Earth. Tapi ia tak pernah mengeluarkannya. Hanya jika perlu di ladang saja." ucap Nenek Sao. Ahh, aku akan kehilangan Dyro.

"Kau cemburu, nak?" tanya Dyro. Aku mendekat lalu berbisik, "Tentu saja. Siapa yang akan mengajakku bicara lagi nanti?" Seisi ruangan tertawa mendengar ucapan bodohku.

"Ahh, anak ini..." ucap Liam mengacak poniku. Dio dan Aira ikut tertawa. Kecuali Novan dan Mecha. Mereka benar-benar diam. 

"Aaahhh, sudahlah. Kalian lebih baik istirahat. Besok akan kuantar kalian ke titik gerhana itu." ucap Nenek Sao.

Malam itu kami memilih menginap di rumah nenek Sao. Aku ikut mendengarkan percakapan Seza dan nenek Sao tentang Iva yang menyerang kota ini beberapa minggu lalu.

"Ia membuat beberapa gedung runtuh. Ia sepertinya mencari titik gerhana itu." ucap nenek Sao. Seza mengangguk paham. "Aku paham. Ibu memang berusaha menghalangiku kembali karena Irene." ucap Seza menunuduk.

"Aku tahu itu, Ibumu memang seperti itu." ucap nenek Sao. "Sekembalinya aku ke Ercha, aku harap kau juga bisa kembali, Sao." ucap Seza.

Nenek Sao menggeleng, "Aku tak mungkin kembali. Aku bisa membahayakan Irene nantinya." ucap nenek Sao.

"Apa hubungan nenek dengan Irene?" tanyaku menyela. "Irene adalah putri dari majikanku dan ia tertangkap gara-gara menyelamatkanku saat ledakan di Ercha." ucap nenek Sao.

Aku mengangguk berharap bisa paham. "Lalu aku terdampar disini dan gen-ku adalah umur pendek. Jadi, aku takkan lama lagi. Yang penting aku bisa membawa kalian ke titik itu dan misiku selesai." ungkap Nenek Sao.

"Tidurlah. Besok masih ada perjalanan panjang." ucap Seza. Aku mengangguk lalu bangkit menuju kamarku. Kudapati Dio, Novan, dan Aira sudah tertidur.

Lagi-lagi aku menatap Novan, "Ada apa denganmu? kenapa kau diam?" tanyaku pelan. Novan hanya menggeliat sibuk dengan mimpinya disana.

Aku menghela nafas dan membiarkan mataku menutup.

***

Novan POV

"Ada apa denganmu? Kenapa kau diam?" suara Nara terdengar jelas. Aku belum tidur, Ra.

Gadis itu menutup matanya. Ranjangnya hanya disebelahku. Wajahnya tenang tertidur menghadap kearahku.

"Aku sakit hati, kau tahu?" ucapku lirih. "Mecha bilang, jika marga kita berbeda, kita takkan menyatu. Takkan pernah." ucapku pasrah mengingat perkataan Mecha.

Sakit hati? Tentu saja!? Hukum macam apa itu!?

"Aku sungguh menyukaimu. Aku sungguh kesulitan membohongi diriku sendiri." ucapku mengumpat menahan amarahku sambil menatap Nara.

"Aku tak tahu harus bagaimana." ucapku akhirnya menutup mata.

Novan POV End.


To Be Continue

Wind of ErchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang