Prolog

16.2K 1K 28
                                    

Darwin, Australia

"Tawaran ku cuma-cuma, Ali! Ayolah!"

Aliadrich Percy mengalihkan pandangannya dari kertas proposal perusahaan yang sedari tadi ia teliti.
Ia menatap pria di depannya.

"Aku tahu, kakek.." jawabnya santai.

"Jadi?" tanya Marius Percy mendesak.

Ali menghela nafas.

"Jawabanku masih sama. Tidak."

Sang kakek menghembuskan nafas, tidak kehabisan akal.

"Tapi ini cuma-cuma, Ali!
Ketika orang-orang diluar sana ingin sekali menjadi bos Neivel Cafe kita yang kini sedang berada di puncak kesuksesan, kakek memilih untuk memberikannya pada cucu laki-laki kakek satu-satunya! Ayolah, Ali.." ucapnya memohon.

"Kakek, harus berapa kali lagi kubilang padamu, aku tidak mau mengurus Neivel. Bagiku kantor ini adalah duniaku. Otakku dipenuhi proposal kantor, jadwal meeting, bertemu client, dan bukannya cara me manage sebuah Cafe. Aku sudah cukup bahagia almarhum Papa mewariskan perusahaan ini padaku." terang Ali panjang lebar. Ia menatap kakeknya sebentar lalu beralih menyesap kopi nya yang kini tak lagi hangat.

"Mengapa tak kau suruh adikmu saja yang mengurus perusahaan ini? Kakek yakin ia sudah cukup matang dan mengerti tentang dunia perkantoran."

Alis Aliadrich terangkat.

"Anne? Aku tak yakin ia bisa meninggalkan kebiasaan berbelanja nya hanya untuk sekedar pergi ke kantor." Ali menimang-nimang sebentar kemudian menjentikkan jari telunjuk dan jempolnya.

"Aha! Mengapa bukan Anne saja yang mengurus Neivel Cafe? Menurutku ia cukup cekatan. Dan bukankah ia sudah sering ke Cafe?"

Marius menatap cucunya sendu.

"Kakek hanya ingin kau, Ali. Mungkin jika kakek bisa meminta satu permintaan sebelum kakek meninggal, kakek hanya ingin melihat cucu kakek, Aliadrich Percy menjadi bos Cafe yang kakek dirikan dari nol hingga menjadi se sukses sekarang. Kakek hanya ingin itu saja, Ali.."

Ali tak bergeming. Ada sedikit perasaan bersalah muncul di hati kecilnya.

"Sebastien juga pasti bangga jika melihat anaknya bisa meneruskan hasil jerih payah ku."

Marius bangkit dari kursinya kemudian meraih jaket tebal miliknya yang ia taruh di gantungan.

"Kakek pergi, Ali. Coba pikirkan kata-kata kakek tadi." pamit Marius, meninggalkan ruang kerja Ali.

Sepeninggal kakeknya, Ali mengendurkan dasinya yang terasa mencekik. Ia menyesap kembali kopinya dan beralih menatap pigura besar yang berada di dinding ruang kerja nya. Laki-laki yang merupakan keturunan dari sepasang Perancis-Australia ini menatap senyum disitu. Senyum yang selalu ia rindu kan dari sosok yang selalu ia kagumi.

"Papa, what should I do? Ali harus bagaimana?"

Lagi-lagi rasa bersalah menggelayuti pikiran Ali. Sebenarnya wajar jika Marius menginginkan dirinya untuk mengurus Cafe. Ali sendiri paham betul bagaimana perjuangan kakeknya dulu ketika membangun dan mengembangan Neivel Cafe dari nol hingga sukses seperti sekarang bahkan Neivel Cafe adalah salah satu Cafe terkenal di kalangan penduduk Darwin. Walaupun letaknya di pinggir danau dan memiliki nuansa pedesaan seperti namanya "Neivel" yang berarti desa, namun tak mengurangi ketenaran dan kesuksesan Cafe tersebut.

Entahlah bagaimana keadaan Cafe itu sekarang, Ali bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia kesana. Biasanya Ali selalu menolak jika diajak kesana karena ia menghindari Marius yang selalu mendesaknya untuk mengiyakan permohonannya. Jika tak salah dengar, pengunjung Neivel mengidolakan cupcake buatan Chef disitu. Apa istimewanya sebuah kue dengan krim dan topping warna-warni seperti itu, pikir Ali. Dan ia tak bisa membayangkan dirinya harus berada di sebuah Cafe untuk waktu yang lama dan mengawasi pekerja-pekerja disana. Tapi, mengingat ekspresi kakeknya tadi, Ali jadi sedikit ragu. Tapi hanya sedikit. Hanya sedikit sekali.

Cupcake Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang