Tak seperti biasanya, akhir-akhir ini Prilly sering melamun di Cake's Room. Kata-kata Rachel beberapa hari lalu terus saja terngiang di benak Prilly.
"Jadi.. apa kau bisa memperkenalkan aku pada Ali?" begitu kata Rachel yang hanya disambut Prilly dengan mengendikkan bahu.
"Aku tak tahu, Chel. Aku tak berani mencampuri urusan pribadi atasan ku." jawab Prilly sekenannya kemudian gadis itu memutuskan untuk pamit dengan alasan mengantuk padahal pada kenyataannya ia hanya ingin menghindar dari obrolan itu.
Entah apa yang Prilly rasakan. Yang jelas ia tak rela bahwa pria yang selama ini diidam-idamkan oleh Rachel ternyata adalah Ali. Tapi Prilly pun sadar bahwa ia tidak berhak atas Ali. Hubungannya dengan Ali pun hanya sebatas hubungan antara bos dengan karyawan nya, tidak lebih. Ia harusnya memahami itu. Ia harusnya menerima itu. Lagipula, Rachel sudah terlebih dahulu bertemu Ali ketika mereka berkuliah di universitas yang sama. Sedangkan Prily? Belum ada satu bulan sejak pertama kali ia bertemu Ali. Seharusnya Prilly tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia tahu diri.
"Hei! Mengapa kau tidak mengangkat telfon dariku?" tepukan di bahu Prilly sontak mengagetkan gadis itu. Ia berbalik mendapati Ali yang menatapnya bingung.
"A- ada apa?" tanya Prilly dengan tatapan kosong. Ali menatap Prilly tajam sebelum akhirnya laki-laki itu menempelkan punggung tangannya di jidat Prilly.
"Apa kau sakit?" Prilly masih menatap Ali yang kini tampak khawatir. Diam-diam Prilly merasa sedih mengingat fakta bahwa Rachel menyukai Ali.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Prilly menurunkan tangan Ali yang semula berada di jidatnya lalu berjalan menuju oven. Ia sibuk mengeluarkan beberapa brownies yang sudah matang. Tak ada raut percaya diri di wajahnya seperti biasa.
"Lalu mengapa kau tak mengangkat telefonmu?"
"Aku tidak dengar." jawab Prilly seadanya.
"Aneh. Bukankah kau sedari tadi berada disini?"
"Ya."
"Lalu, apa yang kau lakukan hingga kau mengabaikan telfon dariku? Tak seperti biasanya."
"Entahlah."
Ali yang gemas dengan jawaban singkat Prilly kemudian menghampiri gadis itu dan meraih bahu Prilly agar berbalik menghadapnya. Ali terkejut ketika menangkap sorot mata Prilly yang tampak sedih dan berkaca-kaca. Tak ada ekspresi percaya diri dan tegas seperti yang biasa Ali lihat.
"Hei, sebenarnya ada apa?" tanya Ali lembut. Prilly hanya menunduk tak berani membalas tatapan Ali. Ia tidak ingin jika yang ia takutkan selama ini menjadi kenyataan. Ia berusaha memungkiri fakta bahwa mungkin dirinya mulai menyukai Ali. Ia harus mengingat Rachel, sahabatnya. Tapi, rasanya sulit sekali bagi Prilly untuk menyembunyikan kesedihannya.
Ali kemudian mengangkat dagu Prilly agar mau menatapnya.
"Apa aku membuat kesalahan? Apa kau marah padaku?"
Sedetik kemudian Prilly justru tersenyum lebar, walau Ali tetap mampu melihat air mata di sudut mata perempuan di hadapannya itu.
"Aku justru bahagia, Ali."
Ali mengerutkan keningnya tak paham.
"Apa maksudmu?
"Ya, aku bahagia. Aku bahagia karena ini adalah hari terakhir bagimu untuk menyuruh-nyuruhku datang kepadamu setiap kali kau butuh. Kau ingat perjanjian kita, bukan? Ini sudah seminggu!" sorak Prilly kegirangan. Namun Ali justru terdiam. Ia pun baru teringat akan perjanjian itu. Selama ini ia terlalu sibuk mengganggu Prilly dan tidak sadar bahwa satu minggu telah berlalu. Bahkan ia nyaris lupa bahwa mereka pernah membuat perjanjian konyol itu. Entah mengapa Ali merasa tak rela. Ali merasa masih ingin menjahili Prilly dan masih ingin Prilly ada untuknya setiap saat. Ia tak mau kehilangan momen-momen yang selama beberapa hari ini tanpa ia sadari telah memberi warna untuk kehidupannya yang hitam putih.
![](https://img.wattpad.com/cover/131058380-288-k407365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake Love 2
FanfictionAliadrich Percy tak pernah menyukai ide Marius Percy, kakeknya, yang selalu menyuruhnya melanjutkan bisnis Cafe milik sang kakek. Walaupun ia cucu lelaki satu-satunya, namun Aliadrich lebih memilih duduk berjam-jam di belakang meja kantor, berkutat...