Tubuh Prilly menegang mendengar suara yang begitu familiar baginya. Pantas saja ia tak bisa menemukan dimana lelaki itu berada. Ternyata...
"A-Ali?" Prilly membalik badan dan tersenyum kikuk. Ia menunduk tak berani beradu dengan tatapan tajam Ali yang menusuk.
"Aku ingin bertanya satu hal dan kumohon jawablah dengan jujur."
Mau tak mau Prilly menundukkan kepalanya patuh. Ia tahu ia telah membuat kesalahan.
"Apa kau berniat menjodohkan aku dengan Rachel?" tanya Ali yang memang tepat sasaran. Prilly semakin merasa bersalah.
"Maaf tapi aku- aku hanya ingin membantunya--" Prilly menatap Ali sebentar kemudian menundukkan wajahnya kembali.
"Ia telah menyukaimu dari sejak kalian kuliah. Aku hanya ingin sahabatku bahagia. Itu saja." lanjut Prilly lirih.
"Apa perasaanku tak sedikitpun penting bagimu?" tanya Ali membuat Prilly terkejut. Perempuan itu memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya untuk menatap wajah kecewa Ali.
"Apa maksudmu?" Prilly mengerutkan keningnya bingung, bukan bingung. Lebih tepatnya, ia berharap Ali salah bicara dan mengkoreksi kalimatnya.
"Tak apa. Lupakan saja. Aku memang tak pernah ada apa-apa nya di matamu." balas Ali. Suaranya pelan namun masih bisa didengar Prilly yang kini makin bingung dibuatnya.
Ali berangsur keluar melalui pintu belakang dapur. Sepertinya lelaki itu menuju danau.
Sementara itu Prilly masih terpaku memutar kembali setiap kalimat yang terucap dari bibir Ali. Segalanya terlalu abstrak dan membingungkan untuk Prilly. Bagaimana jika Ali juga merasakan apa yang dirasakan Prilly? Bagaimana jika yang ditakutkan gadis itu ternyata menjadi kenyataan? Bagaimana jika itu semua nantinya hanya menyakiti semua pihak? Prilly mulai berpikir yang macam-macam.
Di satu sisi, ia memiliki Rachel yang selalu menemaninya dan begitu menyayanginya. Namun di sisi lain, ada bos nya yang diam-diam telah mengisi ruang kosong di hati Prilly.
Rasa bersalah semakin menggelayuti hati Prilly. Ingin rasanya gadis itu menghampiri Ali di danau. Tapi, lalu apa? Apa yang akan ia katakan? Apa yang akan ia pilih untuk dijadikan solusi?
"Chef!" jentikkan jari di depan wajah Prilly membuatnya melonjak kaget.
"Ya? Dom? Ada apa?" ucap Prilly gelagapan.
"Kau baik-baik saja? Sedari tadi kau melamun." Dom menatap Prilly khawatir.
Prilly tertawa hambar sambil membetulkan rambut yang mencuat dari jepitan dan mengganggu wajahnya.
"Aku tak apa, Dom. Apa ada pesanan?" Prilly menghela nafas pelan. Bagaimanapun, ia harus profesional. Ia sedang bekerja dan ia tak boleh lupa itu.
"Tidak. Tadinya aku hanya mengecek persediaan gula dan tepung. Tapi ternyata masih mencukupi untuk minggu ini."
Prilly hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, selamat bekerja kembali, Head Chef. Jangan terlalu banyak melamun. Nanti kadar cantikmu berkurang." ujar Dom diakhiri kekahan. Prilly ikut tertawa karenanya.
"Okay, Dom. Okay."
Tanpa sadar Prilly menggigiti kuku jari telunjuknya. Kebiasaan yang ia lakukan apabila sedang gusar seperti saat ini.
Prilly memutuskan untuk mengambil kain lap dan membersihkan sedikit ceceran tepung yang berada di meja kerjanya. Hal ini dilakukannya agar ia tidak memikirkan Ali. Tapi nyatanya gadis itu tetap tidak bisa melakukannya.
Ia mendesah pelan.
'What is happening to me?'
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake Love 2
FanfictionAliadrich Percy tak pernah menyukai ide Marius Percy, kakeknya, yang selalu menyuruhnya melanjutkan bisnis Cafe milik sang kakek. Walaupun ia cucu lelaki satu-satunya, namun Aliadrich lebih memilih duduk berjam-jam di belakang meja kantor, berkutat...