"Apa?! Kamu bertemu Barata?" Dika menatap putrinya tak percaya. Baru saja Stella memberitahunya tentang kenekatan yang dilakukan Prilly.
Prilly hanya menunduk tak berani bersitatap dengan papanya. Mereka sedang berkumpul di ruang makan yang kini dalam keadaan tegang. Untung saja Valen sedang sekolah. Ia tak perlu mendengarkan perdebatan ini.
"Prilly kayak gini buat bantuin Papa sama Mama, Pa.. kita udah nggak ada cara lain. Besok kita harus udah bayar hutang Papa. Mau gimana lagi.."
Stella meraih Prilly dan memeluknya. Wanita itu paham jalan pikiran putrinya. Prilly pun melakukan itu semua juga bukan tanpa alasan. Anak pertamanya itu pasti sudah memikirkan matang-matang walaupun hatinya mungkin berkata lain.
"Lalu bagaimana dengan pria Australia bernama Ali itu? Bukankah kau bilang pada Mama mu bahwa kau begitu mencintai nya?" tanya Dika.
Stella memang telah bercerita pada suaminya mengenai hubungan Prilly dengan seorang berkewarganegaraan Australia yang bernama Aliadrich Percy.
"Aku udah ninggalin dia, Pa.." jawab Prilly pelan. Ia memejamkan mata sebentar kemudian menghela nafas. Lagi-lagi membicarakan Ali membuat tenaga nya terasa terkuras habis.
Memori-memori tentang Ali masih berputar di benaknya, terlebih di malam hari setiap Prilly hendak tidur. Mati-matian gadis itu berusaha mengelak, semakin kenangan itu memaksanya untuk mengingat Ali.
Saat ini Prilly hanya mendapat kabar tentang Ali melalui Anne. Hanya kontak Anne yang Prilly simpan di ponselnya kini. Prilly pun harus memaksa Anne untuk tidak memberikan kontak Prilly kepada siapapun di Australia.
"Kau curang, Prilly!" kata Anne kala itu ketika Prilly tiba-tiba menelefonnya.
"Curang? Kenapa aku curang?"
"Kau bisa mendapat kabar tentang Kakakku. Tapi dia, dia seperti mayat hidup mencari mu kemana-mana tanpa mendapat kabar sedikitpun!"
Hati Prilly mencelos dikatai seperti itu oleh Anne. Prilly sadar apa yang dilakukannya saat ini memang terkesan egois dan curang. Namun tak ada jalan lain. Cukup mendengar kabar bahwa Ali baik-baik saja sudah membuatnya lega. Tak seperti kemarin-kemarin ketika Anne bilang bahwa Ali tak keluar kamar bahkan tak mau makan. Memikirkannya saja sudah membuat Prilly menangis.
"Biarkan aku mengetahui kabar tentangnya, Ann. Karena dengan begitu aku akan bahagia.." balas Prilly jujur.
Terakhir Anne bilang Ali sudah mau kembali bekerja di Cafe dan sudah tak melewatkan makannya. Ia makan dengan teratur. Namun Anne menyadari perubahan sikap Ali yang kembali dingin. Bahkan lebih dingin dari sebelum ia bertemu Prilly. Ia tak pernah melempar senyum kepada siapapun termasuk karyawan-karyawan Cafe.
"Kamu ninggalin dia pasti karena Papa, kan? Iya, kan?" tanya Dika.
Prilly yang kini telah menangis kemudian menggeleng lemah.
"Enggak, Pa. Prilly emang udah niatan mau balik ke Indonesia."
"Kalo niat kamu cuma pengen balik kenapa kamu jadi lost contact sama dia?"
"Udahlah, Pa. Prilly lagi nggak mau ngomongin tentang dia. Saat ini ada yang lebih penting. Pak Barata." ucap Prilly kemudian menghapus air mata nya kasar.
Stella kembali mengusap lengan putrinya.
"Lalu sekarang kita harus gimana, Pa?" tanya Stella pada suaminya.
Dika menatap Stella dan Prilly bergantian.
"Apapun yang terjadi, Prilly nggak akan menikah dengan anak Barata. Papa nggak akan ngebiarin anak Papa menikah sama pria yang nggak dicintainya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake Love 2
FanfictionAliadrich Percy tak pernah menyukai ide Marius Percy, kakeknya, yang selalu menyuruhnya melanjutkan bisnis Cafe milik sang kakek. Walaupun ia cucu lelaki satu-satunya, namun Aliadrich lebih memilih duduk berjam-jam di belakang meja kantor, berkutat...