"Halo, Ma.." sapa Prilly dengan sebuah ponsel yang menempel di telinga nya.
Ia menyelipkan kedua kakinya di balik selimut tebal. Malam ini dingin sekali, seperti biasa meskipun gadis itu sudah mengenakan piyama panjang yang seharusnya menghangatkan. Ditambah lagi sebuah penghangat ruangan di sudut kamarnya."Iya, Prilly baik-baik aja kok. Ini tadi baru pulang kerja.." kali ini gadis itu lebih memilih membaringkan tubuh lelahnya di tempat tidur.
"Ih, Mama. Prilly kan udah bilang Prilly itu cinta sama Darwin. Prilly seneng kok disini. Orang-orang Cafe juga baik sama Prilly.." Prilly mengerucutkan bibirnya sebal.
"Iya, Prilly bakalan pulang kok ke Jakarta, tapi kan gak sekarang, Mamaaa. Prilly kan juga kangen sama Papa, Mama, Valen.."
"Iya, Ma. Yaudah Prilly istirahat dulu ya, Ma. Mama semangat ke kantor nya yaaa." Prilly menghembuskan nafas lega seraya meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia menyadari betapa ia merindukan kampung halamannya, Indonesia betapapun ia mencintai Darwin. Tapi di sini tak ada opor, tak ada rendang, tidak ada sate ayam kesukaan Prilly. Tidak ada Mama, tidak ada Papa, serta adiknya yang bernama Valen.
Tapi ini adalah pilihan Prilly sejak awal. Prilly sudah tinggal di Darwin selama lima tahun ini. Pada awalnya, ini semua karena pekerjaan Papa nya yang mengharuskan keluarga Prilly tinggal di Darwin. Namun dua tahun yang lalu, kedua orang tua Prilly beserta adiknya pulang kembali ke Indonesia. Menyisakan Prilly sendirian yang bersikukuh untuk tetap di Darwin.
Gadis berdarah Australia-Indonesia ini ingin membentuk dirinya sendiri menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Ia tak ingin bergantung pada kekayaan orang tua nya. Walau sebenarnya yang perlu ia lakukan hanyalah pulang ke Indonesia dan melanjutkan bisnis Papa nya. Tapi Prilly tak memilih jalan tersebut untuk menyambung hidup.
Prinsipnya adalah, jika ia ingin terus berkembang, maka ia harus bekerja dan berusaha."Hmm.." Prilly menggumam sembari meluruskan badannya yang terasa sedikit pegal. Ia meraih boneka beruang coklat pemberian Papa nya yang ia beri nama Pop.
"Pop, pria yang kutemui di belakang Cafe tadi-- siapa dia?" gumam Prilly seakan-akan boneka yang ia peluk bisa berbicara dan mendengar. Ia teringat pada pria yang tadi mengatai Prilly gila. Cih. Bukankah dia sendiri pun gila, gerutu Prilly dalam hati.
Tapi sedikit rasa penasaran muncul juga di hati perempuan itu. Jarang sekali ia melihat seseorang berada di belakang Cafe yang adalah tempat favorit Prilly. Mungkinkah pria itu adalah pelanggan Cafe? Ya, kemungkinan besar.
Tapi ada yang aneh. Prilly merasa tak asing dengan kedua mata pria itu. Entahlah, ia jadi teringat seseorang. Tapi Prilly sendiri juga tak begitu yakin.
"Siapapun dia, aku tak peduli." ucap Prilly akhirnya. Ia menarik selimut yang menutupi kakinya sehingga membungkus tubuh gadis yang mulai memejamkan matanya itu.
***
"Apa kau memang berniat menghabiskan seluruh uang kakakmu ini?" tegur Ali pada perempuan yang baru saja membuka pintu rumah dan membawa masuk dua tas kertas dari butik ternama.
Wanita berambut lurus yang dikuncir ekor kuda itu itu hanya meringis sambil berusaha melepaskan boots dan juga mantelnya.
"Kudapatkan ini karena sedang diskon, Kak! Besok harganya sudah naik. Jadi kuputuskan untuk membelinya saja." terangnya diakhiri cengiran manis dan matanya yang berbinar-binar. Ia bergabung duduk di sofa tempat kakaknya membaca surat kabar ditemani secangkir green tea hangat.
"Terserah apa katamu. Untung saja kau adik seorang Aliadrich Percy yang uangnya tak akan habis." sindir Ali penuh kesombongan.
"Terkadang aku membenci fakta bahwa kau adalah seorang pengusaha muda yang kaya, Kak. Tapi aku juga tak bisa memungkiri bahwa fakta tersebut juga membuatku bahagia." keluhnya sambil merebahkan kepalanya di pundak kakaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake Love 2
FanfictionAliadrich Percy tak pernah menyukai ide Marius Percy, kakeknya, yang selalu menyuruhnya melanjutkan bisnis Cafe milik sang kakek. Walaupun ia cucu lelaki satu-satunya, namun Aliadrich lebih memilih duduk berjam-jam di belakang meja kantor, berkutat...