01

1.4K 168 36
                                        

Ia sudah mati.

Kehidupannya kini telah hancur berantakan, sesak akan porak-poranda penyesalan, menyisakan puing-puing harapan yang tak beralasan. Memang tidak ada lagi alasan untuk menghidupkan kembali kehidupannya, tidak sedikit pun.

Semenjak malam panjang yang telah ia lewati beberapa waktu lalu, semuanya mulai menghitam, gelap gulita, sesak, hampa, juga pudar.

Hatinya pun kian menutup, hanya kelopak matanya yang masih terbuka. Itupun cuma untuk meneteskan linangan kesedihan yang tak sanggup lagi dirinya bendung.

Kim Junkyu sudah mati.











PYAAAR!











Pemuda bersurai hitam kecoklatan itu terperanjak kaget, rungunya menangkap suara pecahan kaca dari lantai bawah rumahnya. Meskipun enggan untuk tidak bergeming dari bawah selimut tebalnya, kaki jenjang Junkyu membawanya beranjak, rasa penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi pun juga tak kalah besar.

Perlahan Junkyu mengendap-ngendap menyusuri lorong, mengambil tempat di balik dinding. Samar-samar dapat ia dengar rintihan kepedihan dari sang Ibunda, yang tanpa sadar turut mengiris si relung hati.

Netra hazel itu kembali mengadar, mendapati pecahan kaca yang berserakan di lantai dapur bersama sang Ibu yang terduduk lemas di antaranya. Kembali mengoyak kewarasan dari seorang remaja yang kini mulai beranjak dewasa berteman kekecewaan itu. Junkyu menangis. Kali ini lebih hebat, dengan menggigit bilah bibir bawahnya berusaha meredam raungan.

Maniknya bergulir ke arah bawah, memandangi perutnya yang membuncit hari demi hari. Terbesit di benak, hal inilah yang menjadi penyebab utama atas kekacauan keluarganya sekarang. Ya, semua ini adalah salah Kim Junkyu.








"Apa lagi yang kau perbuat kali ini?"








Tangis Ibu Kim sejenak terhenti. Mendongakkan wajah menghadap ke arah sang suami yang kini tengah membantunya kembali berdiri. Sejujurnya, Jisoo masih enggan berbicara dengan pria tampan yang mengambil peran sebagai kepala keluarga itu. Ia masih marah lantaran suaranya tak didengar.

"Karena masalah Junkyu, kau kehilangan dirimu, Sayang."

Wanita berparas bak Dewi itu menatap nanar Junmyeon, menyiratkan ketidaksetujuan. "Ini semua karenamu," lirih Jisoo.

Kim Junmyeon menghela napas dengan berat. Jemarinya ia gunakan untuk mencengkeram kedua bahu istrinya lembut. "Hei, dengarkan aku du-"

"Aku tidak mempermasalahkan kehamilan Junkyu, itu semua terjadi di luar kendalinya," potong Ibu satu anak itu dengan tegas.

Jisoo kembali meraung. "Aku memang kehilangan diriku. Hatiku memang hancur. Tapi tak akan lebih hancur jika kau tak meminta Junkyu untuk menggugurkan kandungannya."

Perempuan mana yang tega melakukan hal keji semacam itu. Ibu mana yang rela membiarkan hati anaknya semakin terluka. Tidak ada. Begitupun dengan Kim Jisoo. Seburuk apapun perbuatan yang telah dilakukan sang anak, ia tetaplah seorang Ibu yang lebih mengedepankan perasaan.

"Dengan menggugurkan janin yang ada di perut Junkyu, hal itu hanya akan menambah rasa bersalahnya saja asal kau tahu!"

"Situasinya berbeda, Jisoo-ya. Jika kita membiarkan anak itu lahir, ia akan tumbuh tanpa sosok Ayah nantinya," balas Junmyeon.

"Bahkan, Junkyu akan menjadi seorang single-parent. Diusianya sekarang, apa kau yakin anak kita sudah mampu?"

Air mata Jisoo terus berlinang, membuat raut bidadarinya terlihat sangat tak sedap dipandang. "Aku tetap tidak setuju. Sekarang aku tanya kepadamu, dengan menggugurkan janinnya, apa kau sudah siap melihat anak kita dihantui rasa penyesalan?!"

EXILE (JeongKyuHwan vers.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang