09

625 93 20
                                    

Kerincing bunyi lonceng mengiringi langkah seseorang memasuki Ruby's Caffe, tempat di mana Junkyu sedang mencari pundi-pundi uang sekarang. Perawakan tegap dan tahi lalat di sebelah kanan mata pria itu dapat dengan mudah Junkyu kenali. Ternyata itu Park Jihoon.

"Wah, apakah ini orang yang sama dengan yang kutemui saat pingsan dulu itu?"

Junkyu mengulas senyum malu. "Sudah kubilang jangan ungkit-ungkit kejadian itu lagi!" rengeknya dengan memasang raut wajah kesal yang dibuat-buat.

Jihoon terkekeh, gemas menyaksikan penampilan sahabat barunya yang terlewat lucu dengan celemek cokelat muda seragam kerjanya itu. "Baiklah, baiklah. Sekarang beri aku secangkir Latte hangat."

"Baik, silakan ditunggu pesanannya!" ujar Junkyu sembari memasang senyuman manis. Ia harus bersikap ramah terhadap pelanggan, bukan? Ya, meski pelanggannya kali ini adalah temannya sendiri.

Hari ini tepat satu minggu sudah ia bekerja sebagai kasir. Berkat ini senyum cerianya perlahan mulai kembali, berubah lebih tulus. Mendapatkan beberapa teman baru di sini membuatnya sedikit bisa melupakan beban masalah yang sedang dirinya pikul. Walaupun sesaat, setidaknya, Junkyu dapat kembali merasakan bagaimana rasanya menikmati hidup.

Selama seminggu ini pula ia menjadi lebih akrab dengan Junghwan, murid sekolah menengah yang berperawakan tak sesuai dengan usianya itu. Bukan hanya tentang betapa tinggi dan besarnya badan Junghwan, tetapi juga tentang seperti apa pemikiran pemuda 17 tahun tersebut. Bahkan, terkadang Junkyu merasa bahwa Junghwan jauh lebih dewasa dibanding dirinya.

Semua itu ditunjukkan saat dengan sukarela Junghwan akan menjemput Junkyu setiap ia selesai merampungkan pekerjaannya di pukul lima sore. Meski hanya menemaninya untuk menumpangi bus kota dan berjalan kaki menuju apartemen, Junkyu sudah merasa sangat beruntung dan berterimakasih akan hal itu.

Hati Junkyu selalu berdebar di saat Junghwan melakukan hal-hal kecil yang menurutnya sangat menyentuh. Seperti mempersilakannya untuk masuk ke dalam bus terlebih dahulu, membiarkannya bersandar di bahu pemuda itu, membawakan tas, mengajaknya mengelilingi taman kota saat senja datang, atau mengajaknya makan malam bersama.

Junkyu sudah menganggap Junghwan seperti seorang adik yang selalu siap siaga melindungi dan menjaganya dari marabahaya.

Seperti saat ini, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Waktunya untuk berkemas-kemas dan kembali pulang ke kediamannya. Berdiri di depan mesin kasir dari pukul sembilan pagi tadi cukup membuatnya merasa pegal. Junkyu akan menunggu kehadiran Junghwan dengan bergabung bersama Jihoon terlebih dahulu.

Berbicara mengenai Jihoon, dokter muda itu memang sudah berjanji kepada Junkyu untuk mengunjungi tempat kerjanya sedari awal ia mendapatkan pekerjaan. Namun, pemuda Park itu baru bisa menepati janjinya satu minggu setelahnya. Tidaklah mengapa, yang menjadi persoalan sekarang adalah alibi seperti apa yang harus ia berikan saat Jihoon bertemu dengan Junghwan nanti.

Jujur, Junkyu lelah untuk menutupi ini semua.

"Kau tak perlu memaksakan dirimu terlalu keras, Junkyu!" kata Jihoon sesaat setelah Junkyu mendaratkan bokongnya di kursi di depan Jihoon, ikut bergabung bersama pria berkemeja merah yang sedari tadi sedang sibuk bersama laptopnya itu.

"Iya, aku mengerti. Terima kasih sudah memperingatkan."

Jihoon dengan cepat menutup laptopnya dan bersiap untuk beranjak pergi. "Ayo, kita pulang bersama," ajaknya.

Meremang bulu kuduk Junkyu mendengar ajakan Jihoon. Sungguh, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Er..., aku t-tidak bisa. Kau pulanglah terlebih dahulu," jawabnya dengan suara pelan, nyaris tak dapat didengar oleh lawan bicaranya.

EXILE (JeongKyuHwan vers.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang