13

660 83 21
                                        

Park Jeongwoo bejalan santai seraya bersiul menelusuri jalan setapak yang merupakan jalan pintas menuju apartemennya yang sekarang sedang ditinggali oleh Kim Junkyu.

Pemuda jangkung itu baru saja menyelesaikan aktivitas lari paginya. Dengan hanya menggunakan singlet hitam, celana jogger abu-abu, dan jangan lupakan kedua telinganya yang kini tersumpal sepasang earbuds yang sedang memutar lagu terbaru dari grup musik pria favoritnya, B.O.M.B. dari Treasure.

Banyak pasang mata yang saat ini tertuju padanya. Bukan perkara dirinya tampan atau apa, tapi lihat saja polah tingkahnya yang kini sedang berjoget ria seirama dengan melodi musik yang terputar hanya di pendengarannya tersebut sembari menunggu turunnya lift.

Jeongwoo juga mengepalkan jari-jari tangan kanannya untuk dijadikan seolah-olah sebagai mikrofon. Bilah bibirnya bergerak-gerak melantunkan lirik demi lirik secara lypsing, bak sedang berada di tengah panggung megah dengan ribuan penonton. Ah, mungkin ia lupa bahwa dirinya sedang tidak berada dalam bilik kamar mandi.





TING! TONG!





Saat ini dirinya sudah berada tepat di depan unit apartemen nomor 609. Sebenarnya Jeongwoo tahu sandi untuk membuka pintu ini, akan tetapi ia memilih untuk menghormati Junkyu yang sedang mengambil alih hak milik kamar tersebut.

Detik berikutnya pintu sudah sepenuhnya terbuka, menampilkan perawakan menggemaskan dari sang pemilik dengan mengenakan sweter berwarna kuning dan celana jin longgar yang terlihat pas membentuk lekuk tubuh indahnya.

"Sudah kubilang kau bisa langsung masuk tanpa menekan bel, Jeongwoo-ya," ucap Junkyu sebagai kata pembuka darinya.

Jeongwoo tersenyum lebar dengan memamerkan deretan gigi. "Kalau aku tidak mau bagaimana?" canda si sulung Park itu yang hanya mengundang dengusan kesal Junkyu.

Pemuda yang akan segera menginjak usia delapan belas tahun tersebut masih belum puas menggoda kakak kesayangannya itu. "Aku sengaja, Hyung-nim! Aku mau melihat kamu membukakan pintu untukku," lanjut Jeongwoo masih dengan senyum lima jari andalannya.

Junkyu menyerah. "Terserah kamu saja."

Jam telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari di luar juga sedang gencar-gencarnya memamerkan eksistensi. Hari ini Junkyu memang sudah berjanji kepada Jeongwoo akan menemaninya membuat kartu identitas nasional. Sedikit terlambat memang, tapi apa yang bisa diharapkan dari seorang Park Jeongwoo.

"Mau pergi sekarang? Aku sudah siap."

Jeongwoo menggeleng-gelengkan kepalanya lucu. "A-ah, No-no, beri aku waktu untuk mandi sebentar," tawar Jeongwoo sambil menggerak-gerakkan jari telunjuk mengisyaratkan sebuah larangan atau penolakan.

Sedangkan Junkyu hanya bisa menghela napas sembari mengusap-usap perut buncit miliknya. "Amit-amit, ya, Nak," lirih Junkyu setengah berbisik agar tidak sampai di rungu pemuda di hadapannya tersebut.

Setelah itu Jeongwoo langsung menyelonong masuk dan segera mengarahkan langkahnya menuju kamar mandi. Meninggalkan muka Junkyu yang memerah dan senyumnya yang merekah tak tahu kenapa.

Pesona adik bongsornya yang satu itu memang tidak bisa terbantahkan dengan mudah.





























***


























Awan menghilang entah kemana, menyisakan langit yang menyala biru seirama sapaan kilat mentari yang menghangatkan siang menjelang sore kali ini. Membuat Junkyu yang sedang duduk manis di tepian lapangan bawah pohon rindang sedikit mengernyit menahan silau di matanya.

EXILE (JeongKyuHwan vers.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang