Pagi-pagi buta seorang pemuda rantau ini terbangun dari tidurnya dengan keadaan yang tidak keruan. Perutnya terasa sedikit kaku, sepertinya ia mengalami kram. Setelah itu, kembung dan mual yang luar biasa datang menyerang. Dengan cepat Junkyu berlari menuju ke bilik kamar mandi, meraung-raung berusaha memuntahkan isi perutnya.
Tahu bahwa usahanya sia-sia karena tak ada sedikit pun yang keluar dari dalam mulutnya, Junkyu beranjak menuju dapur untuk mengambil segelas air. Matanya memerah, cenderung berair. Pening di kepalanya pun tak kalah memperihatinkan.
Sejenak Junkyu duduk di kursi yang terletak di area meja makan, meneguk habis air putih itu seraya mengelus-elus dadanya lembut. Perlahan berusaha untuk kembali menetralkan irama detak jantungnya yang berdebar hebat. Mengambil napas panjang lalu ia keluarkan secara teratur.
Sejatinya hal ini sangatlah lumrah terjadi kepada orang yang sedang hamil. Junkyu hanya sedang melewati fase morning-sickness.
Menit berikutnya, rungunya mendengar detikan jarum jam di dinding apartemennya yang masih menunjukkan pukul lima dini hari. Masih terlalu pagi baginya untuk melanjutkan aktivitas. Untuk itu, langkah Junkyu membawanya menuju tempat tidur untuk kembali merebahkan badannya yang super lemas.
Selain membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat, Junkyu juga tidak boleh kelelahan. Pemuda yang sedang mengandung anak di luar nikah ini harus mengingat bahwa di dalam perutnya kini terdapat nyawa yang harus ia jaga dan perhatikan.
***
Maniknya sedikit demi sedikit mulai terbuka, mengadar ke segala penjuru ruangan. Jemarinya perlahan meraba ranjang di mana dirinya berbaring saat ini, menatap bingung atap berwarna putih itu, bertanya-tanya di manakah ia berada sekarang.
Tempat asing lagi?
Sesaat kemudian pusing kembali menyerang di saat ia berusaha menggunakan otaknya untuk berpikir keras. Mengingat-ingat kembali apakah dirinya pernah datang kemari sebelumnya.
"Anda sudah siuman?"
Junkyu menoleh, mendapati lelaki dengan jas putih membalut rapi tubuhnya. Sejenak Junkyu tersadar bahwa tempat asing ini adalah sebuah rumah sakit. Kenapa ia tidak bisa melihat tirai pembatas yang mengurung dirinya? Kenapa ia tidak bisa merasakan selang infus yang terjalar di samping tubuhnya?
"Anda sedang berada di IGD, Tuan Kim."
"Bag-"
Belum sempat merampungkan kalimatnya, dokter muda yang sedang mengecek keadaanya tersebut terlebih dulu menimpali. "Saya menemukan Anda pingsan di lobi apartemen. Langsung saja saya hubungi ambulan rumah sakit tempat di mana saya bekerja sekarang."
Junkyu dipaksa untuk kembali memutar kilas balik memorinya. Bagaimana bisa dirinya tak sadarkan diri di luar unit apartemennya sedangkan terakhir kali ia menutup mata adalah saat di mana ia kembali tidur pagi tadi. Ah, mungkin Junkyu yang tidak ingat.
Ya, pada kenyataannya, pemuda itu memanglah sudah terbangun dari tidurnya dan hendak berjalan ke luar untuk mencari sebuah obat. Namun, takdir berkata lain, ia harus dilarikan ke rumah sakit sebelum menemukan penangkal sakitnya.
"T-terima kasih banyak, Dok."
Dokter yang memiliki postur tubuh ideal tersebut tersenyum manis. "Tidak masalah. Bukankah kita tetangga?" tanyanya setelah selesai memastikan kondisi pasiennya sudah membaik.
"Kamu berada di unit nomor berapa? Ah, bisakah saya menggunakan bahasa informal? Anda terlihat lebih muda dari saya."
Junkyu mengangguk-nganggukkan kepala. "Nomor 609."

KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE (JeongKyuHwan vers.)
Fanfiction[Jeongwoo x Junkyu x Junghwan] Highest rank: 🥇1st on #Jeongkyu - Nov 30 Kim Junkyu harus merelakan masa mudanya untuk mengurus anak di luar nikah yang sedang ia kandung. Junkyu pun terpaksa mengasingkan diri, ia harus hidup dan menghidupi anaknya...