Nenek Lampir

74 5 0
                                    

"Coba buka kaca matanya!," pinta Dinda.
"Gak ah," tolak Affan.
"Buka...," sambil membuka kaca mata Affan.
Buru-buru Affan menutup matanya.
"Lebih cakep gini sih".
"Kalau gini?? Gini?? Gini?? Gini..gini????," sambil mengambil pose ala-ala model.
"Hahaha norak ew".
"Balikin kaca mata gue".
"Nih...," sambil memakaikan Affan.
"Udah yuk balik".
"Bayar dulu lah".
"Malas," sambil berjalan keluar.
"Eh gile lu," menarik Affan kembali.
"Hahaha iya iya," lalu kembali ke ruang ganti baju dan membayar belanjaannya.

Setelah memenuhi kebutuhannya, mereka pun pulang.

"Wan punya hp?," tanya Dinda.
"Punya".
"Bagi kontaknya dong".
"Iya nanti lihat sendiri kalo udah di rumah".
"Sip".

Sejam berlalu akhirnya mereka sampai di rumah. Matahari telah berganti bulan.

"Din gue balik dulu yah".
"Masuk aja dulu".
"Nyalain lampu dulu, nanti rumahnya gelap".
"Yaudah deh".
"Bye," Affan kembali ke rumah.
Dan Dinda masuk ke rumahnya.

"Aku pulang...," teriaknya.
"Dari mana?," tanya Bunda yang sedang menyiapkan makan malam.
"Dari mall," jawab Dinda singkat.
"Sama siapa?," tanya Ayah.
"Afwan," jawab Dinda singkat sambil menyicip makanan Bunda.
"Sana mandi dulu, kalau udah mandi bawaain makanan ke rumah Afwan," pinta Bunda.
"Sip," Dinda pun berlalu.

Sejam Dinda membersihkan diri, Dinda mengingat pesan Bunda dan penuh semangat ia ke dapur.

"Udah harum belum?," tanya Bunda.
"Udah dong".
"Ya udah ini bawa makanan buat Afwan, kamu makannya di sana aja biar Afwan gak kesepian".
"Siap Bun".

Teng Tong

"Dinda pasti," Affan dengan semangat membuka pintu.
"Ehh kaca mata," Affan berlari mengambil kaca matanya di meja ruang keluarga.

"Lama banget sih," keluh Dinda sambil masuk ke rumah.
"Sabar dikit susah amat sih," menutup pintu.
"Lagi nonton lo?, gede amat suaranya".
"Ehh... Iya, biar rumah gak sepi-sepi amat".
"Nih makan nasi goreng buatan Bunda".
"Enak nih".

Mereka berdua pun makan dengan lahapnya, seperti biasa makanan Bunda selalu saja enak, diam-diam Affan menikmati filmnya.

Melihat ponsel di atas meja, Dinda pun bertanya.
"Hp lo?".
"Iya".
"Bagi kontaknya yah".
"Iya bawel".
"Wan.. Wann balik sini".
"Paan sih?".
Cekrekk
Suara kamera Affan berbunyi.
"Hahahaha," tawa Dinda.
"Ngapain sih lo, sini ahh hp gue," merebut hpnya.
"Ih jangan, iya nggk lagi deh".
"Ya udah gue aja yang selfie".
Dua tiga kali Dinda berganti gaya, membuat Affan yang melihatnya tertawa diam-diam.
"Oh iya Wan, kalo mau nelpon gue pencet 4 aja, mau gue ubah jadi satu tapi kan di nomor satu Ibu jadi gak jadi deh".
"Emang gue mau nelpon elu?".
"Nyebelin lo ah," sambil meletakkan hp Affan.

Waktu berlalu begitu cepat, malam semakin larut, Dinda pun pulang membawa dua piring yang ia bawa tadi.

Setelah mengunci rumah, Affan melihat ponsel Afwan.
"Dasar aneh," herannya sambil tersenyum.
Ternyata Dinda mengubah Wallpaper hp Afwan dengan fotonya.

Di Sekolah

Sekarang sudah waktu istirahat, murid berlarian dengan semangat ke kantin termasuk Affan dan Dinda.

Di kantin seperti biasa Sasa dan Lina membut ulah lagi, membuat murid lain berkumpul melihat ulahnya.

"Eh itu kok ngumpul-ngumpul, ngapain yah?," tanya Dinda.
"Makan aja yuk," jawab Affan.
"Lihat dulu bentar," Dinda lari meninggalkan Affan dan ikut bergabung di kerumunan, Affan hanya duduk di salah satu kursi yang kosong.

Seperti biasa Sasa dan Lisa melakukan aksinya. Dekel cupu yang selalu jadi mainannya jadi tontonan murid lain.
"Enak nih makan baksonya?," tanya Sasa.
"Kalo di tanya jangan diem aja!,"kata lina sambil memukul meja, sontak dekel itu kaget.
"Nih tambahin sambel ah biar maknyuss," kata Sasa, ia menambahkan sambel tidak sedikit, sampai-sampai warna kuahnya berubah merah.
"Jangan lupa ini Sa... eh dekel cupu, lo kan generasi micin, jadi jangan lupa tambahin micin ke makanan lo".
"Hahaaha," keduanya tertawa.
Sedangkan murid lain hanya bisa bungkam, melihat kejadian itu, mereka tak berani berkata-kata, sebab ia takut
Jadi korban selanjutnya.

"Ahh di sini gerah yah lin".
"Sepertinya sih begitu".
"Capcus yuk".
"Yuk," dengan sengaja Lina menyenggol mangkuk bakso itu dan membuat seragam dekel itu kotor.
"Upss, gak sengaja, gimana dongg," ejek Lina.
"Yah kotorr, maaf yahh," tambah Sasa, jelas itu bukan permintaan maaf yang tulus.
Tak tahan lagi, dekel itu berlari menangis meninggalkan kerumunan.

Tontonan berakhir.
Dinda kembali ke Affan.

"Afwann, gilee tadi nenek lampir itu berulah lagi".
"Ngapain lagi dia?".
"Masa makanan orang dia campurin sambel sama micin, terus sengaja banget di senggol sampe-sampe jatuh ke seragam korbannya, jahat banget sih".
"Lo juga jahat kali".
"Kok gue?".
"Lo tinggalin gue tanpa beliin makanan dulu, laper gue".
"Hahaha, oke tunggu gue pesenin," meninggalkan Affan.

"Eh... lihat deh lin, itu kan dekel yang cakep itu".
"Iya emang kenapa?".
"Deketin ahh".

"Ehemm," dehem Sasa.
Lina hanya menonton aksi Sasa.
Affan cuek saja dan tak menoleh pada Sasa.
"Kenalin gue Sasa," sambil mengulurkan tangan.
"Tau kok," jawab Affan singkat.
"Beneran?," tanya Sasa senang.
"Siapa sih yang gak kenal lo? Dengan hobi gak jelas lo ngebully dekel," jawab Affan meninggalkan keduanya.
"Haahahaha," tawa Lina.
"Awas yahh," jengkelnya lalu meninggalkan kantin.

Affan menyusul Dinda dan mencari meja lain.
"Kok gak di tempet tadi?, tanya Dinda.
"Ada nenek lampir".
"Serius?".
"Ah makan dulu ah gue laper".

Waktu pulang telah tiba.
Sasa yang dengan mudah tau kelas Affan mendatangi Affan untuk mewujudkan keinginannya.

"Apa lo lihat-lihat?," tanya Lina pada dekel yang hendak keluar kelas.
"Itu dia," sambil berjalan mendekati meja Affan dan Dinda.

"Hai Afwan," sapa Sasa.
Dinda heran melihat kedua nenek lampir itu ada di hadapannya.
"Apa lo?," kata Sasa dengan nada rendah ketika Afwan sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas.
Dinda hanya memutar bola matanya sinis.
"Afwan lo kan temenan sama Fadel, lo di undang kan ke acara ultahnya?," tanya Sasa.
"Kenapa emang?," tanya Affan cuek.
"Datengnya harus sama gue!," kata Sasa tegas.

Afwan/Affan ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang