UKS

90 9 0
                                    

Affan membalas pesan ibu :
Iya ibu, ini tidak akan lama lagi.

Setelah itu ia menonton acara tv kesukaannya sampai terlelap.

Di Sekolah

Sebelum pelajaran pertama dimulai Dinda berencana ke toilet.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Fadel yang baru saja tiba di sekolah.
"Hai Din," sapa Fadel.
"Hai," balas Dinda.
"Gue mau ngomong sesuatu".
"Ngomong aja kali".
"Pulang sekolah bentar mau gak jalan sama gue?," tawar Fadel.
"Gimana yah".
"Ayolah Din kali ini aja, udah berkali-kali gue ngajak lo jalan dan lo tolak terus, please kali ini," bujuk Fadel.
"Nanti gue jawab yah, udah kebelet ini," ngeles Dinda.
"Yaudah, gue ke kelas yah," kata Fadel.
"Sip".

Saat kembali ke kelas Dinda menceritakan kejadian yang dialaminya barusan.
"Wan ada yang pengen gue ceritain," dengan nada rendah sebab guru sedang menjelaskan.
"Paan?".
"Tadi gue ketemu Fadel".
"Terus?".
"Dia ngajak gue jalan".
"APA?!," tak sadar Affan mengeluarkan suara tinggi.
Ibu Ima yang sedang mengajar sontak menoleh, sekejap keduanya diam, ibu Ima melanjutkan catatannya di papan.
"Jadi lo jawab apa?," tanya Affan.
"Gak tau, makanya gue minta pendapat lo".
"Gak usah".
"Kenapa?".
"Yah gak usah!".
"Tapi kasian udah sering gue tolak," seru Dinda.
"Tadi lo minta pendapat gue, gue jawab lo  gak terima, gimana sih?," kesal Affan.
"Iya tapi kan...," belum selesai Dinda bicara ibu Ima murka.
"Afwan! Dinda!," teriak ibu Ima.
Keduanya diam.
"Ngapain kalian ngobrol di waktu pelajaran ibu? Udah ngerasa hebat kalian? Coba jelasin yang tadi ibu katakan!," teriak ibu Ima.
Lagi-lagi keduanya hanya diam.
"Kalian! Keluar!!," Pinta Ibu Ima.
"Tapi bu...".
"Gak ada tapi-tapian! Keluar sekarang!," bentak ibu Ima.
Keduanya pun menurut.

Mereka melangkah menuju kantin.
"Gara-gara lo nih!," kata Affan.
"Diem ah," kata Dinda.
Bibb
Dinda mendapatkan pesan.
'Gimana Din?'

"Wan, ini Fadel chat gue, gue jawab apa dong?," tanya Dinda.
"Serah lu ah," jawab Affan singkat.
"Bantu gue kek," kesal Dinda.
"Bodo ah," sambil meninggalkan Dinda.
"Eh mau ke mana lo?," tanya Dinda.
"Toilet".

Saat Affan masih di dalam kamar toilet, Fadil dan Randi masuk ke toilet, ia tak sengaja mendengar percakapan mereka.
"Kayaknya Fadel bakal menangin taruhannya nih Dil," kata Randi.
"Kita lihat aja nanti," jawab Fadil.
"Fadel udah ngajak jalan, pulang sekolah bentar," kata Randi.
"Di terima?," tanya Fadil.
"Gak tau sih, belum di jawab," jawab Randi.

Tiba-tiba Fadel datang.
"Gaesss gue di terima," seru Fadel riang.
"Serius lo?," tanya Fadil.
"Ya iyalah, itu tadi gue ketemu Dinda di luar," jelas Fadel.
"Siap-siap aja lo Dil kalah taruhan," ejek Randi.

Mendengar perkataan ketiganya, emosi Affan yang dari tadi tertahan sudah tak dapat dikontrol, ia keluar dari kamar toilet.

Randi yang pertama melihat Affan bungkam. Ketiganya melihat mimik wajah itu lagi, seperti dulu saat mereka mengerjai Dinda.
Tangan Affan mengepal, rasanya ingin menonjok ketiganya, tapi masih di tahan.

"Afwan," seru Fadil.
"Maksud lo apa hah? Jadiin Dinda sebagai taruhan! Lo pikir dia benda yang bisa lo jadiin taruhan seenak jidat lo?!," teriak Affan.
"Gak usah ikut campur lo!," balas Fadel.
"Apa lo bilang?," teriak Affan.
"Emang lo siapa ikut-ikut campur urusan kita? Emang lo siapanya Dinda yang bisa ngatur-ngatur?! , udah buta masih belagu aja lo!," seru Fadel.
BUG!
Suara pukulan Affan tepat sasaran, mendarat di wajah Fadel, keras, sepertinya akan menyisahkan jejak lebam di sana.
"Sialan lo Wan!," lalu membalas ke Affan. sayang sekali pukulannya hanya mengenai udara, melesat.
"Oh jangan-jangan perkiraanku dari awal memang tak salah, lo Affan kan?!," tanya Fadel.
Kedua temannya baru menyadari itu dan mengingat kejadian seperti ini memang pernah terjadi antara Fadel dan Affan.

"Ini bukan urusan lo!," sambil menunjuk Fadel.
Fadel maju dan melemparkan pukulan lagi, kali ini pukulannya tepat sasaran, membuat darah mengalir di sudut bibir Affan.

Affan membalas lagi, kali ini kepalan tangannya menghantam perut Fadel.
Fadel meringis kesakitan.
"Gue udah pernah buat perjanjian sama lo bertiga! Apa lo lupa!," teriak Affan.
"Berarti lo emang Affan!," seru Fadil.
"Kenapa emang!," bantah Affan.
Fadil dan Randi mundur, Fadel masih kesakitan.

Affan menarik kerah baju Fadel sembari berkata "Emang kenapa kalo Afwan buta? Hah! Lo mau coba lihat apa yang Afwan lihat!," seru Affan Dingin.
Fadel hanya diam, hantaman di perutnya tadi sangat keras membuat ia masih ke sakitan.

Affan melepaskan Fadel dengan melemparnya hingga menghantam tembok. Ketiganya bungkam.
"Jangan cari gara-gara lagi lo kalo gak mau yang lebih parah terjadi," seru Affan sambil meninggalkan toilet.

"Lihat aja gue bakal bongkar rahasia Affan!," seru Fadel sambil meringis.

Affan kembali menemui Dinda di kantin.

"Lama banget lo dari toilet," sambil mengaduk-aduk minumannya.
"Loh, lo kenapa? Kok baju lo berantakan banget, itu juga bibir lo berdarah, memar," seru Dinda khawatir.
"Gak papa," jawab Affan singkat.
"Habis berantem lo?," Dinda yang tadi duduk berhadapan kini duduk di samping Affan.
"Nggk," jawab Affan singkat.
"Jangan bohong lo," sambil membalikkan badan Affan menghadap dirinya.
Affan hanya diam.
"Sekarang kita ke UKS," kata Dinda sambil menarik Affan.
"Gak usah," tolak Affan.
"Ikut aja susah amat sih!," seru Dinda geram.
"Gue ikut kalo lo gak pergi sama Fadel," tawar Affan.
"Iya! Ayo cepet," dijawab cepat oleh Dinda.

UKS kosong, seperti biasa udaranya dingin dan bau obat khas tercium.
Affan duduk di dipan UKS.
Dinda segera mengambil kotak P3K dan kompresan serta air.

Dengan telaten Dinda mengobati sudut bibir Affan.
"Aww pelan-pelan," ringis Affan.
"Iya, ini udah pelan-pelan," sambil terus mengobati Affan.
Affan hanya diam saja.

Gerakan tangan Dinda terhenti saat Affan mengusap lembut pipi Dinda.
Tatapan mata Dinda yang tadi memperhatikan sudut bibir Affan pun beralih ke matanya. Jantung Dinda berdebar begitu cepat seolah jantungnya akan melompat. Bagaimana tidak, Affan menatapnya begitu dalam tanpa berkedip. Jarak wajah keduanya begitu dekat membuatnya gugup.

Tubuh Dinda semakin terasa kaku saat merasa wajah Affan semakin dekat. Namun Dinda tidak berniat menjauh sedikitpun. Bahkan ketika deru nafas Affan telah mampu ia rasakan, Dinda malah menutup matanya. Membiarkan bibir Affan menyapu lembut bibirnya.
.
.
.
Please-lah tinggalin jejak, setidaknya vote-lah, biar authornya juga semangat ngelanjutinnya.

Afwan/Affan ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang