Part 12 : Back Off

47 12 17
                                    

"I-IBU...!?" aku menjerit kaget.

Wajah wanita berambut merah itu tetap datar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wajah wanita berambut merah itu tetap datar. Tak lama, Ira pun melipat tangannya di depan dadanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit. Kemudian, bibirnya melengkung ke atas melukiskan senyum tipis yang tulus. Ia melangkah dekat padaku dan mengamati wajahku. Ia memegang pipiku dengan kedua tangannya sambil menatap kedua mataku. Tatapan Ira yang keibuan membuatku membeku dalam kekagetan sekaligus kekaguman.

"Kamu sekarang tampan ya nak." ucap ibu sambil tersenyum manis.

"...dan lebih tinggi daripada ayahmu." lanjut Ira sambil tersenyum usil.

"H-hei...!" tampaknya ayah langsung tersinggung.

"Pfft." ibu menahan tawanya.

Aku menunduk dan memandang tanah neraka di mana kuberpijak. Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku tersenyum dan tanpa kusadari, tetesan air kebahagiaan jatuh bagai hujan rintik yang membasahi tanah neraka yang tandus.

"Aku bangga denganmu, nak. Maaf aku tidak datang saat kamu pertama kali datang ke neraka. Soalnya..." ibu tak menyelesaikan apa yang ingin ia ucapkan.

"Ibu malas gerak." jawaban ibu membuatku heran.

No comment.

"Sudah deh, yuk ke sana." ibu menggenggam pergelangan tanganku dengan erat dan menarikku.

Ayah hanya mengangguk patuh sambil tersenyum tipis. Aku mengikuti ibu yang tampaknya kegirangan. Kami melewati sebuah bangunan kusam yang terlihat seperti bar. Setelah melewati beberapa bangunan yang menjulang tinggi ke langit, ibu menarikku ke tangga menuju ruang bawah tanah.

"Crang...! Crang...!" bunyi mata rantai yang jatuh ke lantai berangsuran.

Aneh. Rantai itu mengunci pintu menuju ruangan bawah tanah. Saat ini, aku merasakan hal yang aneh. Ayah tak mengucapkan sepatah kata. Ibu memimpin jalan seolah-olah ada rencana yang terorganisir. Ayah mengusap tangannya tanpa henti. Ayah menunjukan tanda-tanda psikologi yang gelisah.

Aku mencoba melangkah ke belakang untuk melihat reaksi ibu. Sekejap tatapan mata ibu tiada beda dengan elang menerkam mangsanya. Aku tersentak melihat tatapannya yang sadis.

"Ah!" aku terkesiap.

Ibu memperkuat genggamannya. Perlahan sensasi membakar mulai terasa di pergelangan tanganku. Aku tidak paham mengapa ini terjadi. Suasana yang menrukan tiba-tiba menjadi situasi yang mencekam.

"Avaritia! Kunci!" perintah ibu sambil menatapku dengan tajam.

Ayah menunduk kecewa. Ibu memaksaku ke ruang bawah tanah yang luas itu. Tak lama suara pintu metalik itu terdengar keras dan tiada secercah cahaya dari luar yang dapat menembus ruang bawah tanah ini.

My Sweetest Hell [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang