Sore itu angin musim gugur berhembus cukup kencang. Suara gemerisik daun maple berwarna merah yang saling bersentuhan dan berjatuhan semakin membuat hati Jimin terasa sakit. Ia berdiri disana lagi, didekat ayunan, tidak berniat untuk menaikinya.
Setiap sore, sebelum malam, Jimin hanya memandangi ayunan itu. Lalu, saat malam datang, ia kembali masuk ke dalam kamar. Sudah hampir empat bulan sejak saat itu. Saat ia menyuruh Jeon Jungkook untuk pergi. Jimin sangat ingat, ia pernah mengatakan tidak ingin melihat Jungkook untuk selama-lamanya. Dan dengan berbaik hati Tuhan mengabulkan doanya. Lalu, kenapa sekarang wajahnya sesedih itu? Apa ia ingin menyalahkan Tuhan lagi?
Tidak! Jimin menggeleng. Ini semua adalah salahnya.*****
Dari balik jendela rumahnya, Nyonya Park selalu memandangi Jimin disana. Sejak melihat berita kecelakaan pesawat yang melibatkan nama Jeon Jungkook saat itu, Jimin sering termenung di dekat ayunan setiap sore, berdiri disana, hampir selama empat bulan.
Sebenarnya, Tuan Park berniat untuk menebang pohon dan menghancurkan ayunan itu ketika melihat Jimin sering termenung akhir-akhir ini. Tapi istrinya menghalanginya. Bahkan mereka pernah bertengkar karena hal itu tanpa sepengetahuan Jimin.Masih dari balik jendela rumahnya, Nyonya Park melihat Jihyo berjalan memasuki halaman rumah.
"Oppa..." Jihyo mendekati saudara tertuanya. Jimin menoleh, melihat pada adik perempuannya itu. "Kumohon jangan seperti ini terus." Air mata Jihyo menetes.
Jimin masih melihatnya tanpa ekspresi, beberapa detik berikutnya ia tersenyum. Senyuman yang membuat hati Jihyo semakin tersayat. Itu bukan senyuman Jimin. Senyuman Jimin tidak sesedih itu.
"Kau harus kuat, Oppa. Kau harus kuat..."
Jimin mendekati Jihyo. Ia mengelus kepala adik perempuannya itu. Dan Jihyo semakin terisak. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Jimin memeluk adiknya erat, dengan senyuman yang tidak bisa diartikan.
Dari balik jendela, Nyonya Park ikut menangis disana.*****
Jepang, Sapporo, 14 Juni. . .
Musim panas telah tiba. Jimin merapikan koper bawaannya. Ia memilih untuk menginap di hotel yang sama. Hotel yang satu tahun lalu ia inapi bersama Jungkook dan Lisa untuk menghadiri acara pernikahan dulu.
Ah, Lisa. Bagaimana kabar wanita itu? Bagaimana kabar Nyonya Kim Yujin?
Jimin memang tidak pernah berhubungan lagi dengan orang-orang yang ia kenal di Seoul. Jimin memilih untuk membuang ponselnya saat itu. Ia terlalu naif ketika menerima kenyataan bahwa Jungkook telah tiada. Ia tidak ingin diganggu, ia ingin menyendiri. Merenungkan kebodohan dan penyesalannya saat itu. Tapi sekarang, Jimin memilih untuk bangkit. Waktu telah mengajarinya untuk mengikhlaskan segala sesuatu. Jadi, dengan uang tabungannya-yang sebenarnya ingin digunakan Jimin untuk membeli mobil-ia menekatkan diri untuk pergi ke Jepang. Jimin ingin melihat festival kuil yang dikatakan Jungkook satu tahun yang lalu, saat mereka naik perahu dayung bersama.*****
Siang itu Jimin mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru tua dan celana jeans abu-abu. Di punggungnya ada tas ransel kecil. Ia juga memegang kamus ukuran sedang ditangannya. Jimin sudah bersiap untuk berpetualang hari ini, tanpa pemandu jalannya, yang dulu menemaninya.
"Aku akan bersenang-senang disini, Jeon Jungkook. Kau lihat saja." Jimin bergumam. Ia tersenyum, namun entah kenapa hatinya terasa sakit.
Dan pada saat itu Jimin benar-benar menikmati waktunya. Ia mengelilingi taman Nakajima yang sangat ramai. Festival Kuil Nakajima benar-benar membuat Jimin tercengang. Ia juga tidak lupa memfoto setiap kegiatan yang ada. Tidak lupa mencicipi makanan kecil disetiap stand. Membeli souvenir, bermain tangkap ikan dengan jaring, ikut berdoa di kuil dan naik perahu dayung, sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
"DEAR NO ONE"/KookMin (END)
FanfictionW A R N I N G !!! Boys Love. 20+ (Maaf, beberapa bagian di private)