Bag 6

6K 295 4
                                    

Ayna duduk termangu menatap sekelilingnya. Gelap. Kotor. Dan bau tak sedap yang memenuhi ruangan itu. Namanya juga gudang pastilah kotor dan pengap. Ayna hampir kehabisan nafas karena ruang yang terlalu sempit dan pengap. Di tambah dengan lelah yang sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.

Ayna memijit pelipisnya beberapa kali karena merasa pusing. Sorot matanya kian pudar. Dan

Brukk

Ayna terjatuh dan kakinya tertimpa balok-balok kecil yang tersusun rapi diatasnya.

***
Sejak siang Rendra sengaja tak memberinya makan agar merasakan kelaparan.

Malam ini ia berbaik hati akan memberinya makan. Rendra berjalan menuju sebuah ruang di pojok belakang rumah yang tak lain adalah gudang, tempat ia mengurung Ayna.

Rendra membuka pintu. Perlahan ia masuk. Matanya menelisik keberadaan Ayna dan menangkap sosok yang di cari tengah terkulai lemas di lantai dengan beberapa balok mengenai tubuh mungil gadis itu.

Dengan segera Rendra membawa tubuh mungil itu ke dekapannya dan menggendongnya menuju kamar.

"Belum juga aku sakiti dirimu sudah sakit duluan." gumamnya dalam hati.

Rendra merebahkan tubuh Ayna di kamar, kemudian meninggalkan kamar menuju dapur untuk membawakannya makanan.

Rendra kembali ke kamar, menaruh makanan di atas nakas dan melihat tubuh gadis itu, kakinya tampak berdarah karena tertimpa balok kayu yang ada di gudang. Rendra menatapnya iba. Namun segera ia tepis rasa ibanya dan kembali mengingat orang tuanya yang telah meninggal.

Setelah beberapa jam tak sadarkan diri Ayna terbangun, ia mengerjap-ngerjapkan matanya melihat apa yang ada di depannya.

Rendra.

Dengan lemah ia mencoba mengangkat suaranya dan mulai berbicara.

"Apa yang telah Bapak lakukan, mengapa Bapak menolong saya dan tak membiarkan saya mati begitu saja di gudang itu." ucap Ayna.

"Sudahlah kau tak usah banyak bicara, aku tak ingin kau mati begitu saja. Aku ingin melihatmu perlahan-lahan mati karena menderita."
Ucap Rendra dengan suaranya yang tegas.

Ayna menyeka air mata yang sudah berjatuhan. Dadanya sesak mendengar setiap kata yang Rendra ucapkan.

"Dan satu lagi, aku bukan menolongmu. Karena aku tak ingin kau cepat mati. Dan KAU. Kau tak bisa lari dariku. Camkan itu."

Ucap Rendra.
Ayna diam. Mencerna setiap perkataan yang keluar dari mulut tajam Rendra.

Rendra menatapnya tajam. Dan menyuruh gadis itu menghabiskan makanannya. Baru kemudian Rendra pergi meninggalkannya dan menguncinya di kamar.

Ayna mengambil selembar tissue di atas nakas, mengusap lembut kakinya yang berdarah. Dengan berlinang air mata ia bersihkan sisa-sisa darah yang ada di kakinya.

Ayna menyibak korden disebelah kanan kamar, dan melihat semburat jingga di ufuk barat. Menandakan waktu magrib akan tiba.

Ayna berjalan tertaih-tatih menuju kamar mandi. Ia hendak melaksanakan sholat magrib. Dengan baju seadanya. Ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Melaksanakan sholat.

Ya Allah, ya rabb. Tuhan semesta alam. Hamba tahu engkau tak kan memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba. Bila memang ini takdir yang telah engkau gariskan. Maka kuatkanlah hamba dalam menjalaninya. Dan berikanlah hamba keyakinan, dibalik setiap cobaan yang engkau berikan engaku akan memberi hikmah yang tiada terduga bagi hamba.

Rendra mendengar setiap doa yang Ayna panjatkan dengan seksama. Hatinya berdesir pelan. Ada rasa sesal yang menyeruak dihatinya. Namun sekali lagi ia buang jauh-jauh rasa itu. Dan kembali menyusun niatnya.

Rendra membuang nafasnya kasar. Melihat makanan yang tak tersentuh sedikitpun. Kembali dengan amarahnya ia tampar pipi putih nan halus milik Ayna.

Dan dengan berapi-api ia kembali memaki Ayna.

***

Malam telah berlalu, berganti dengan pagi yang menjanjikan. Bagi yang bersemangat menikmati hari. Pagi itu adalah waktu yang di nantikan untuk merajut kembali asa yang telah dirancang.

Rendra sudah bersiap menuju kantornya. Bi minah, asisten rumah tangga Rendra tengah berkutat dengan berbagai olahan di dapur. Hari ini ia membebaskan Ayna dari kamarnya. Ia tak menguncinya di kamar. Tapi mengurungnya di rumah. Ia menyuruhnya menjadi pembantu seperti bi Minah, bedanya ia tak digaji dan diperlakukan seenaknya oleh Rendra.

"Mulai hari ini kamu panggil saya Tuan. Kamu tdk saya kunci di kamar ataupun di gudang. Tapi bila melanggar perintah saya. Kau akan tahu sendiri akibatnya."

Ayna mengangguk lemah, ia hanya bisa pasrah mendapat setiap perlakuan buruk dari Rendra.

Rendra menatapnya jengah, kemudian berlalu meninggalkan rumah. Menuju kantor. Berkuatat kembali dengan kerjaan yang sudah menumpuk.
.
.
.
.
.
Assalamualaikum pembacaku yang budiman, setelah membaca jangan lupa tinggalkan jejak bintang maupun komen yah kalu suka sama ceritanya. Matur nuwun🙏😊

Mawar PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang