Prolog

2.3K 151 15
                                    

Ada satu hal yang paling aku sukai dalam hidup ini, menyelinap di malam hari. Jangan berpikir bahwa pekerjaan yang kugeluti adalah pencuri. Aku menyelinap hanya untuk melepas lelah, meninggalkan hiruk-pikuk pekerjaan, sejenak. Seperti halnya malam ini, aku sudah berhasil menuruni balkon rumahku secara perlahan. Tanganku masih erat menggenggam seutas tali jemuran yang sudah kupersiapkan dari pagi hari tadi. Tubuhku kini berada 30 cm dari tanah. Sebenarnya aku bisa saja segera melepas talinya dan melompat ke tanah. Sayangnya, anjing peliharaan ayahku pastilah segera menyalak ketika itu terjadi. Anjing itu sudah sangat terlatih, bahkan suara jarum jatuhpun ia akan segera menyadari.

Perlahan aku melonggarkan pegangan agar dapat turun dengan halus. Sesenti demi sesenti aku merasakan aku semakin mendekati tanah. Tapi tanpa sempat aku berpikir dan menyadarinya, tubuhku limbung dan terlepas dari tali. Aku terjatuh dengan cukup keras dengan posisi kaki yang salah Trakk...

Aku merasakan ada yang patah, mungkin pergelangan kakiku yang terputar. Tapi nampaknya itu bukanlah masalah. Masalah sebenarnya adalah anjing ayahku. Mataku berusaha menembus remang-remang halaman rumah, berharap tiada seorangpun yang melihatku, terutama anjing tadi. Terasa dadaku baru mengendur ketika semuanya aman, barulah kutatap ke arah kakiku. Patah.

Rumah juga masih sepi. Nampaknya malam ini aku bisa keluar lagi tanpa sepengetahuan seorangpun. Tapi bagaimana dengan kakiku. Aku berjalan pelan sambil menyeret kaki kiriku, mencari beberapa ranting yang sama panjang untuk jadi pertolongan sementara. Kuikatkan kaos dalamku dengan ranting tadi pada kakiku, berharap dapat sedikit mengurangi resiko semakin parah.

***

Malam sangat mendukungku hari ini, meskipun tak begitu terang bulan, tapi suasana hari ini sangat mendukungku, tiada hujan. Beberapa kali aku harus kembali ke kamar setelah bersusah payah menyelinap hanya gara-gara hujan yang turun tiba-tiba. tapi hari ini tidak, langit bahkan begitu bersih, hanya ditaburi bintang-bintang yang gemerlapan.

Baru dua bulan aku pindah ke kota ini. Kota yang cukup sepi. Meskipun tergolong kota yang cukup maju, tetapi hanya beberapa rumah yang dapat ditemui, bukan karena jarak antar rumah yang jauh. Melainkan karena ukuran rumahnya yang begitu besar. Sehingga dalam hitungan satu kilo sangat sedikit rumah-rumahnya. Bahkan lucunya, hampir semua rumah berdinding bata tinggi, seperti penjara. Ayah ibuku juga sempat berpikiran untuk menembok sekeliling halaman. Tapi karena pekerjaan mereka yang terlalu sibuk, hingga saat ini impian mereka belum terwujud. Padahal bisa saja mereka menyewa jasa tukang untuk menemboknya, tapi entah mengapa tak pernah mereka lakukan.

Dua bulan aku di sini, dan dua bulan juga aku tak sekolah. Orang tuaku memilih agar aku melanjutkan dengan home schooling saja. Senin hingga rabu biasanya guruku akan datang ke rumah. Ini adalah salah satu dari sekian pertanyaan yang ingin aku ajukan pada orangtuaku. Karena ketika aku tinggal di Jakarta, aku sekolah di sekolah umum. Tapi semenjak pindah ke sini, bahkan aku tak diperbolehkan keluar rumah. Jadi malam seperti inilah aku bisa keluar, meskipun dengan menyelinap.

***

Siapa sangka kali ini aku tertidur di lapangan, biasanya sekitar pukul setengah tiga aku sudah kembali lagi ke balkon rumah. Bergegas aku berjalan kembali ke rumah.

Aku terperanjat ketika sampai di depan rumah. Tetangga yang selama dua bulan ini belum pernah terlihat kini memadati halaman rumahku. Yang lebih mengejutkan lagi adalah 2 mobil patrol yang kini terparkir di depan rumah.

Aku berusaha lebih cepat sampai ke rumah. Menerobos beberapa tubuh besar yang begitu kokoh penuh rasa ingin tahu, akhirnya aku berhasil sampai di depan pintu rumah.

Mataku terbelalak lebih kaget lagi, ketika kulihat tubuh ayahku bersimbah darah, tergantung tepat di atas meja ruang tamu. Tak jauh beda dengan ibuku, tubuhnya terlihat seperti habis terjatuh dari tangga dan tersungkur di pojok dinding. Baju tidurnya yang berwarna pink lembut, kini sudah seperti tertumpah berbotol-botol saus tomat.

Ku lihat dua orang polisi sedang membuat garis putih di sekitar tubuh anjing kesayangan ayah. Tubuh anjingku bahkan lebih mengenaskan dari ayah dan ibuku. Seluruh isi perutnya tercecer seperti separuh bedah.

Mataku masih terbelalak tak percaya. Wajar saja suara jatuhku tak terdengar oleh anjing super sensitive ini. Aku mendengar sayup dua orang polisi bercakap-cakap. Menurut salah seorang di antara mereka ini terjadi sekitar tengah malam tadi. Aku melompati balkon pukul setengah satu, tapi aku bahkan tak mendengar suara jeritan atau suara minta tolong.

Semuanya makin tak jelas, seperti teka-teki ketika kedua tanganku dipuntir ke belakang. Sepasang borgol kini mengalungi lenganku.

"Anda ditahan atas tuduhan pembunuhan ayah dan ibu anda"

"Tapi aku tidak dirumah tadi malam pak" ujarku berusaha menjelaskan "aku bahkan baru pulang barusan saja"

"lihat bercak darah di pakaian dan wajahmu" ujar polisi

Aku bahkan belum sempat berkaca, sejak tadi malam, seorang polisi menganggat cermin berukuran smartphone tepat di depan mukaku. Wajahku penuh darah yang sudah mongering. Aku bahkan butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pantulan di dalam cermin itu adalah diriku sendiri. Wajahku penuh dengan cipratan cairan berwarna merah kental yang kini mulai mengering dan sisi-sisinya tampak mulai gerah dengan kulit wajahku.

Otakku tak mampu berpikir lagi, apa yang sebenarnya terjadi? Aku bahkan tak tahu tentang darah ini? Aku yakin aku keluar tadi malam, tertidur di lapangan dan pulang dalam keadaan kaget. Aku bukanlah seorang pembunuh.

***

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang