TUJUH BELAS : (Juno Point of view)

604 64 2
                                    

"Hei kenapa kau tertawa?" bentakku mendengar tawa keras yang begitu renyah keluar dari lubang-lubang speaker di Handphoneku. Suara Willy benar-benar tak berubah seperti dulu. Kisah singkatnya sebagai adik iparku ternyata sangat membekas. Bahkan kebiasaannya seperti tertawa keras benar-benar tak berubah.

"Bagaimana aku tak tertawa" jelasnya. "Kau adalah pria terbodoh yang pernah aku kenal"

Terbodoh?

"Justru kau lelaki terbodoh yang melepaskan adikku dan menduda hingga saat ini" jawabku kesal. Begitu kesalnya aku, bahkan kalimat tadi meluncur tanpa kusadari ataupun aku mengerti maksud sebenarnya.

Willy hanya tersenyum. Seolah ucapanku tadi adalah hal bodoh yang dilontarkan seorang pelawak.

"Kau sebenarnya sudah tau kemana kau harus pergi bertanya" jelasnya. "Tapi kau tak pernah melakukannya"

Tutt...

Panggilan terputus begitu saja. Entahlah, mengapa aku harus menerima video-call dari orang gila sepagi ini.

"Langit saja masih gelap!" bentakku.

Suara kerasku bahkan sampai memantul kembali ke langit-langit ruangan kantor. Rusak sudah ritual pagiku. Entah bagaimana hari ini akan berakhir, jika aku tak bisa mengubah moodku yang rusak ini.

"Willy gila!" jeritku. "Siapa yang harus aku tanya?"

Jika memang aku sudah tahu siapa yang memegang kunci kasus ini, pastilah aku sudah membongkar kasus ini dengan cepat. Sejujurnya aku juga sudah lelah dengan semua ini.

Entahlah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh makhluk satu itu. Pagi-pagi hanya ingin menanyakan kebenaran penangkapan Widya, dan juga posisi Suria yang kini malah menjadi psikiater penjara untuk Widya.

"Pasti Suria ini" gumamku sembari mengambil air hangat dari dispenser.

Gelembung udara di dalam gallon itu sekilas seperti memantulkan wajah Suria yang tersenyum dan melambai ke padaku.

"Mengapa dia masih berhubungan dengan mantan suaminya?" tanyaku kesal.

Gorden panjang yang ujungnya bahkan menyeret ke lantai marmer cokelat itu menerbangkan debu di sekitarnya ketika kusingkirkan gorden itu. Langit masih berwarna merah saga. Bahkan rumah-rumah di sekitarku masih gelap gulita.

"Ini Indonesia rasa asing" gumamku sembari melihat pemandangan ini. Beberapa kali ku reguk air hangat di gelas tadi.

Seingatku dulu waktu kecil, jam 4 saja, satu kampung sudah berasa pasar. Orang lalu-lalang sembari membawa perkakas untuk pergi bekerja. Tapi sekarang, sungguh berbeda. Rasanya tak salah jika aku berkata bahwa ini Indonesia rasa asing.

"Aku masih merasa bersalah padamu" gumamku membayangkan sosok seorang wanita. Rambutnya yang dulu sangat hitam berminyak masih sangat jelas di bayanganku. Seolah sosok itu benar-benar sedang berada di hadapanku.

"Hidupmu benar-benar hancur karena aku" ucapku lagi. aku berbicara seolah ia benar-benar bisa mendengarku. Kuharap sejuk udara pagi ini bisa menyampaikan penyesalan atas kesalahanku. Bahkan hingga akhir hidupnya, aku belum sempat meminta maaf dengan tulus.

Mungkinlah hidup membujang yang harus aku alami hingga di umur yang sudah kepala tiga ini adalah karma untukku.

"Andai dulu aku mau bertanggung jawab" ucapku lagi.

Mataku tak berkedip, memandang langit yang semakin terang. Kini udara dingin benar-benar menusuk-nusuk bola mataku, perih rasanya.

"Angin sialan" ucapku kesal. Segera aku menutup kembali kaca jendela dan gordennya.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang