DUA PULUH LIMA

516 58 0
                                    


Juno Point of View


"Apa?"

Aku masih menganga tak habis pikir dengan apa yang Suria katakan barusan.

"Ya, kak" jawab suria. "Kami masih menjalin kasih meskipun ia sudah menjadi suami Mira"

"Kau gila" ucapku kesal. "apakah ini sebabnya kau dan Willy berpisah?"

"Salah satunya"

"Maksudmu?"

"masih banyak alasan mengapa aku memilih meninggalkannya" jawabnya cepat.

Aku tahu jika mengungkit masalah pernikahannya yang kandas dengan Willy, ia selalu saja berusaha menghentikan topik itu. Siapa sangka, begitu banyak rahasia yang ia simpan. Hati manusia yang hanya segenggam, siapa sangka bisa menyimpan begitu banyak rahasia.

Tidakkah sesak hatimu, dek?

"Kau tak pernah cerita padaku" ucapku pelan.

Saat ini, seolah satu persatu pintu rahasia terbuka. Semua rahasia yang bahkan tak pernah aku bayangkan menjadi nyata. Tapi nyatanya memang terjadi. Aku benar-benar tak mengenal adikku. Seolah wanita muda di depanku bukanlah adikku lagi. image yang selama ini aku bayangkan tentangnya, sedikit demi sedikit hancur.

"Kak" ucapnya pelan. matanya menatap wajahku penuh rasa bimbang.

Aku tak menjawabnya sedikitpun. Hanya diam menatap wajahnya, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya.

"kali ini biarkan aku menebus salahku pada mira"

"Kau..?"

"Ya, biarkan aku hidup tenang setelah ini"

"Kita tak tahu sampai mana batas kegilaan willy"

"Tapi itu di taman kak" ujar Suria. "ada banyak orang dan juga penjaga"

"Tapi..."

"Sudahlah kak, kau percaya padaku"

Aku menatap lesu padanya. Bayangan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi melayang-layang di depan mataku.

***

"Kau Yakin?" Tanyaku lagi pada Suria.

"Yakin, Kak" ujar Suria sambil tersenyum. "Lihatlah, ada banyak orang di sini, juga itu" tunjuknya ke arah dua orang penjaga taman yang sedang berjalan ringan di dekat para pengunjung.

"Nah itu mereka" Ujarku menunjuk lurus ke arah seorang pria dan remaja putri cukup jauh di depan kami.

"Larilah kembali jika kau ragu, de" ujarku pada Suria yang mulai berjalan ke arah Willy.

Aku tak bisa melepas pandangan pada punggung Suria yang makin menjauh. Tapi tak bisa kupungkiri, ada rasa bahagia melihat Widya yang mulai mendekat ke arahku.

Setelah semua ini, aku harus memberi tahunya jika aku ayah kandungnya.

"Lariii..!!!"

Suara teriakan Widya yang tiba-tiba, benar-benar membuatku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Beberapa lama aku terpaku tak tahu harus berbuat apa, kakiku mematung.

"Ayo paman" ujar Widya sambil berlari berlalu.

Beruntunglah jeritan suara Widya yang cukup keras, membuat semua orang berkumpul, termasuk dua orang penjaga taman tadi. Kali ini aku betul-betul dapat bernapas panjang. Dua orang yang kusayangi tepat berada di depanku, terlepas dari bahaya.

***

Aku dan Suria masih tak bisa menutup mulut kami. Rasanya betul-betul tak bisa dicerna oleh otak kami apa yang barusan dikatakan Widya. Bahkan udara sejuk yang masuk lewat jendela ruang tengah, rasanya juga ikut berhenti mengalir.

"Jadi.. maksudnya..." Suria tak bisa menyusun kalimatnya dengan benar. Apalagi aku, hanya terdiam.

"Ya paman, tante" jawab Widya. "Paman Willy yang membunuh ayah dan ibuku"

"Kau ada buktinya?" tanyaku.

"Ada" ucapnya.

Tangan Widya sibuk mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Ini" ujarnya sambil mengangkat handphonenya.

"Kau merekamnya?" tanyaku. Senyumku mengembang menatapnya.

Widya mengangguk, tersenyum membalasku.

"Syukurlah" ujarku.

Bergegas aku memeluknya. Terakhir kali, aku memeluknya dengan tangisan karena membuatnya harus masuk ke penjara. Tapi kali ini, pelukan dan tangisku, sebab rindu yang terlalu banyak harus kusimpan. Semua kejadian menegangkan ini, semoga berakhir. Rekaman ini cukup untuk menjadi tiket Willy ke penjara.

"Sudah, laki-laki kok menangis" ujar suria sambil tersenyum.

Aku tertawa malu. "Sudah malam, sebaiknya kita tidur dulu" jelasku. "Besok rekaman itu kita serahkan ke polisi".

***

Aaargh....

"Suara itu?" bergegas aku bangun dari tempat tidurku. Bergegas aku ke kamar Widya.

"Widya?" tanyaku. "Wid?"

Aku mengetuk pintu kamarnya yang masih terkunci dari dalam.

"Wid? Ada apa nak?" tanyaku lagi.

Tapi sepi tak ada suara.

Tanpa menghitung aba-aba sama sekali aku menghempaskan tubuhku ke pintu.

BRAKKK...

"Widya?" ujarku lagi.

Tapi tempat tidurnya kosong. Udara dari luar menerbangkan gorden jendela.

Aku menjeritkan sumpah serapah.

"kenapa kak?" Tanya suria yang baru sampai di pintu kamar Widya.

"Kita terlalu menganggap remeh Willy, dek"

Sekali lagi, aku lalai menjaga anakku

***

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang