LIMA BELAS : Widya Point Of View

614 63 0
                                    

"Entah kemana paman jam segini" gumamku. Mataku masih tak beranjak ke arah langit di halaman belakang rumah. Matahari saja masih samar-samar malu. Panasnya saja masih cukup lembut untuk membelai pipi anak bayi.

"Kalau ibu di sini, pasti sudah penuh halaman ini dengan bunga" ucapku sendiri. Mataku menatap rerumputan hijau itu, tapi pikiranku menerawang dan membayangkan warna-warni bunga yang bermekaran di halaman itu.

Tapi apa boleh buat. Paman Juno terlalu sibuk untuk memikirkan hal seperti ini. Pukul 5 pagi saja dia sudah hilang entah kemana. Mana sempat ia memikirkan menanam bunga. Membeli bibitnya saja mungkin ia tak akan sempat.

"Seharusnya ia menyelesaikan kasus kisah cintanya saja" kataku. "Bukannya malah mengurusi kasus orang lain" Aku yang mengucapkan kalimat itu saja, rasanya seperti ada yang menggelitik di dada.

"Nah itu dia" gumamku tiba-tiba ketika suara mobil terdengar mengerang dari depan rumah. Aku berjalan ke arah pintu depan.

Tapi belum sempat aku memegang knop pintu, paman Juno sudah muncul dari baliknya.

"kenapa paman?" tanyaku melihat gelagatnya yang aneh. Ia seperti orang yang habis kalah taruhan miliaran rupiah. Wajahnya berlipat-lipat.

Perlahan ia mengangkat wajahnya, menatapku dalam-dalam. Kedua tangannya yang cukup besar itu memegang pundakku.

Nafasnya berat. Ia menarik nafas perlahan, tapi aku betul-betul merasakan betapa kepayahan ia melakukannya. Seolah-olah itu pekerjaan yang tak pernah ia lakukan. "Widya" lama ia tak bersuara setelahnya.

Sekali lagi ia menarik nafas panjang. "Maafkan paman" ujarnya.

"Kenapa paman?" tanyaku perlahan.

Aku menatapnya bingung. Bukannya menjawab pertanyaanku, matanya justru semakin memerah. Air matanya berguliran pasrah. Baru kali ini aku melihat seorang pria dewasa menangis di depanku. Bahkan ayahku sendiri saja, tak pernah aku melihatnya.

Tangannya meraihku, menarik pundakku. Ia memelukku erat. Dingin rambutku, sebab air matanya sempat beberapa kali jatuh ke atas rambutku. Sementara aku sudah hampir menyerupai batang pohon, diam, kaku dan tak tau harus melakukan apa. Pikiranku buntu, seperti mati suri saja. Benda lembut di dalam tempurung kepalaku sama sekali tak bisa mencerna apa yang sebenarnya ingin paman Juno sampaikan.

Hingga akhirnya, aku hanya bisa pasrah dan membiarkan wajahku tenggelam di dalam peluknya. "Maaf..." bisiknya lirih di sela-sela nafasnya yang tersengal karena air mata.

Mataku yang baru saja hampir terpejam pasrah, tiba-tiba terbangun lagi. aku menarik wajahku, menoleh ke arah samping. "Ini?" tanyaku kaget. Seseorang menarik kedua belah tanganku ke belakang.

Tunggu, aku pernah merasakan ini

Aku merasakan benda dingin melingkari kedua lenganku. "Borgol?" tanyaku lagi memastikan. Aku masih tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, paman masih tetap tak melepaskanku dari pelukannya. Tangannya masih kuat melingkariku.

"Kenapa paman?" tanyaku tak percaya.

"Maaf Widya" ucapnya. "Maaf"

"Aku pikir paman percaya padaku"

"Paman percaya padamu"ucapnya. "Sangat percaya"

"Lalu kenapa?" tanyaku lagi. aku mendorong dadanya, berusaha untuk terlepas dari pelukannya itu.

Jika benar ia percaya, harusnya ia tak melakukan ini. Mengapa ia harus membocorkan pada polisi jika aku ada di sini.

"Paman bahkan tak tahu mengapa mereka bisa tahu" jelasnya lagi.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang