Empat

1K 95 4
                                    

Hari ini aku dipindahkan ke dalam sel tahanan remaja. Bajuku yang penuh noda darah itu diganti dengan kostum khas tahanan. Baju dan celana berwarna merah bata menandakan bahwa aku sudah resmi menjadi tahanan sebelum sidang pertamaku berlangsung. Sepanjang lorong kulihat pemandangan yang jelaslah sangat mengerikan. Bagaimana tidak, penerangan yang remang-remang juga tatapan dingin dari para tahanan membuat bulu kudukku berdiri sampai akhirnya aku berada di depan selku. Beruntunglah aku ditempatkan sendirian.

Kamar baru lagi, ya, aku menganggapnya sebagai kamar sendiri, mau bagaimana lagi. Berharap pria yang disewa paman untuk menyelesaikan kasusku ini dapat segera menyelesaikan tugasnya. Meskipun sampai saat ini aku masih berhasrat bertemu dengan paman. Bagaimana mungkin ia sama sekali tak menjengukku hingga saat ini. Apakah ia juga percaya bahwa aku memang pembunuhnya? Atau mungkin saja pengacara yang ia sewa ini juga percaya dengan hal ini?

Jujur saja, hingga saat ini aku sama sekali tak menaruh kepercayaan pada pengacara itu, setiap pertemuan kami selalu saja ada yang mengganjal. Setiap kalimatnya juga hampir selalu menggantung. Bagaimana mungkin seorang pengacara menyimpan rahasia dari kliennya.

"Jangan berharap terlalu banyak?" gumamku penuh tanya. Aku ingat betul kalimat itu yang pertama ia dengungkan padaku. Bagaimana mungkin aku bisa mempercainya, kalau dia sendiri saja sudah mengatakan hal itu.

Setelah petugas tadi pergi, bilik segi empat ini kembali terasa sepi. Mataku berkeliling pada tiap sudut ruangan, berharap setidaknya ada yang berbeda dari selku yang pertama. Ternyata sama saja. Senyumku merekah. Meskipun tak ada yang bisa menyenangkan aku saat ini, tapi setidaknya aku harus bertahan hingga semua ini benar-benar berakhir.

Kutepuk-tepuk kasur yang sedang ku duduki, tipis sekali. Bahkan rasanya jauh lebih baik jika aku tidur di lantai saja. Pikirku masih menerawang membayangkan senyum ibu dan ayah. Aku masih menyesal, seandainya saja aku tak pergi ke luar rumah. Bisa jadi saat ini kami bertiga berada dalam damai di tempat yang sama.

Sumpah serapah aku lontarkan, meskipun separuh berbisik. Karena sejak dari tadi, kulihat gadis muda di seberang selku masih menatapku dengan tajam, setiap kali aku mengeluarkan suara. Entah sudah berapa lama ia di dalam sel itu. Wajahnya begitu kotor, jerawat memenuhi dahinya. Nampak jelas ia tertekan dengan kondisinya. Melihat itu, aku juga langsung membayangkan jika hal yang sama akan terjadi padaku. Hingga tanpa sadar, kedua tanganku tengah mengusap-usap dahiku sendiri. Kondisi gadis itu benar-benar membuatku mengesampingkan masalahku sendiri.

Selain gadis itu, ada seorang lagi gadis muda di sebelah sel gadis itu. Meskipun sama saja dengan tetangganya, tapi gadis itu tampak jauh lebih terawat. Aku menduga bahwa gadis ini baru beberapa hari saja di dalam sel, berbeda dengan satunya. Ya, gadis lusuh dan gadis manis.

***

"Apa sebaiknya aku kabur saja dari sini?"

Mataku terbuka tiba-tiba. rambut dan bajuku kurasakan sangat lepek, basah semua gara-gara keringat. Suara siapa itu?

Seketika aku terbangun dan menatapi sekeliling bilik ini. Jelaslah hanya aku sendiri di sini. Tapi suara itu sangat keras seolah-olah seseorang berkata tepat di depan daun telingaku.

"Kau terbangun?"

Suara itu lagi. Tapi kali ini, aku sadar dari mana arah suaranya. Gadis di dalam bilik di seberang itu menatapku. Tubuhnya menempel pada jeruji, kedua tangannya menggenggam jeruji dengan kuat. Butuh waktu untukku menatap matanya. Kulihat wajahnya jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan awal pertama kami bertemu. Rambutnya sepanjang rambutku. Tapi warnanya jauh lebih pirang.

"Berhenti menatapku seperti itu !!!" bentaknya kali ini. Segera aku memalingkan wajah. Tubuhku rasanya berguncang tak karuan. Aku menarik semua pendapatku bahwa gadis itu seumuranku. Nampaknya ia jauh lebih tua. Apalagi dengan suara seraknya itu.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang