DUA PULUH EMPAT : Sebuah Rencana

536 58 7
                                    

Dila Point of View


Tangan pria itu benar-benar kasar memperlakukan luka di kepalaku. Bahkan tak ada lembut-lembutnya sama sekali.

"Tidak bisakah lebih pelan lagi?" tanyaku separuh membentak pada paman Willy.

"Ini sudah pelan" sanggahnya.

"Seberapa kuat kau membenturkan tubuhku?"

Ia hanya tertawa sambil menggosok belakang kepalanya. "Tapi aku sudah membuatmu bisa merebut kendali lagi" ucapnya. "Harusnya kau berterima kasih"

"Ya, ya, terserahlah" jawabku malas.

Ia masih saja mengembangkan. Membuatku makin merasa panas saja.

"Lalu apa rencanamu?" tanyanya tiba-tiba.

"Biarkan aku istirahat dulu"

***

Pagi ini, seperti ketiban bintang jatuh tepat di kepalaku, aku terbangun dengan sebuah ide cemerlang.

"Paman Willy!" jeritku sembari berlari dari kamarku ke ruang tengah.

"Bagaimana jika aku berpura-pura sebagai widya" ucapku.

"Maksudmu?"

"Ya, aku pura-pura menjadi widya" ucapku lagi. "Lalu kita pura-pura minta tukar suria dengan Widya"

"apakah berhasil?"

"hey,kau meragukanku?" ucapku kesal.

"Tapi bisa saja kau gagal" balasnya.

"Anak ini pasti lebih berharga dari suria" ucapku sambil mengarahkan telunjuk kea rah tubuhku sendiri.

"aku makin tak mengerti dengan rencanamu"

"Widya adalah anak Juno" jelasku. "Otomatis penawaran ini tetap menjadi penawaran yang perlu ia pertimbangkan"

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku? Ya jelas aku kembali lagi kesini" ujarku.

"Baiklah, artinya itu hanya untuk mendapatkan suria kan?"

Aku mengangguk sembari menatapnya. "Aku harus membantumu menyelesaikan permainan yang kita mulai"

"Aku setuju kalau begitu"

"lagipula" tambahku. "Bukanlah lebih menyakitkan bila suria dibunuh oleh anak yang dulu pernah dibesarkannya".

"Kau benar" balas paman willy sembari tersenyum. "aku ingin dia benar-benar tersiksa".

"Ya sudah, cepat sms suria" ujarku. Sudah lama aku tak melihat mata paman willy yang kembali berbinar seperti itu.

Nampaknya ini benar-benar akan menjadi pengalaman paling mengasyikan buatku.

***

Suasana taman ini di malam hari benar-benar membuat jantungku berdebar-debar. Benar-benar sesuai dengan bayanganku kemarin.

"Mengapa di taman ini?" tanyaku.

"Ini tempat paling sepi kalau malam seperti ini" jelas paman Willy sembari menggandeng tanganku.

Rasanya aku ingin segera menyentakkan genggamannya. Risih betul rasanya digandeng seperti ini. aku benar-benar seperti anak kecil yang tak tahu jalan pulang.

"Kali ini aku membiarkanmu" ujarku kesal.

"Apa?" tanyanya.

"Cukup kali ini saja kau menggandengku"

Ia tertawa renyah. "Anak manis harus nurut sama paman ya" ucapnya sembari sedikit berjongkok menyamakan tinggi dengan tinggiku.

"terserah" balasku singkat, lalu segera memalingkan wajahku yang kesal.

Ia masih saja tersenyum mempermainkanku.

­"Aku ke kamar mandi sebentar" ujarku langsung berjalan tanpa menunggu persetujuan paman Willy lagi.

"Katanya taman ini sepi!" ujarku kesal. Bahkan di sepanjang jalanku menuju kamar mandi, entah sudah berapa pasangan yang berlalu lalang.

Mataku masih mencari-cari lokasi kamar mandinya. Baru kali ini aku ke taman ini. bahkan penanda jalannya pun benar-benar berantakan. Membuatku harus berputar-putar untuk menemukannya.

"Itu dia" ujarku. Telunjukku tanpa sadar menunjuk ke arah kamar mandi itu. Bergegas aku ke sana, hampir-hampir saja aku buang air di celana.

Baru saja aku membuka pintu kamar mandi.

Aaargh.....!!!

Aku terpleset jatuh akibat lantai licin...

DUGG...!!

Betul lah, kepalaku tepat beradu dengan lantai keramik itu.

***

Widya Point of View


Mataku sedikit demi sedikit akhirnya dapat melihat dengan jelas lagi. Rasanya dahiku benar-benar sakit.

"Biru!" ujarku sembari melihat pantulanku di cermin.

"Tapi syukurlah aku kembali" ujarku. "Dila tak boleh muncul lagi" ujarku puas.

Seorang pengguna kamar mandi baru saja keluar dari salah satu pintu. "Nona, boleh aku pinjam make-upmu?"

"Untuk apa?" tanyanya bingung.

Aku menunjuk lebam di dahiku.

"Oh biru sekali" ujarnya. "Baiklah, ini"

***

Buru-buru aku berjalan ke luar kamar mandi.

"Tunggu dulu" ujarku pada diriku sendiri. "Aku harus kemana?"

"Dila!!!"

Suara itu? Paman willy kah?

"Pa..paman?"

"Hey kenapa lama sekali?" tanyanya kesal sembari menepuk pundakku.

"Antri" jawabku singkat.

"Hmm, baiklah" jawabnya. "ayo, mereka sudah datang"

Paman Juno dan tante suria??

Bergegas kami ke tempat yang ditunjukkan oleh paman Willy. Sebisa mungkin aku tak berkata apa-apa. Aku harus bisa memerankan diriku sebagai Dila dengan baik.

"Widya!!!" jerit seorang pria kurang lebih 6 meter di hadapanku.

"Ya, mari kita bertukar" jelas paman Willy. "Lakukan sesuai rencana kita" bisik paman Willy sebelum melepaskanku ke arah paman Juno.

Entahlah rencana seperti apa yang telah mereka berdua siapkan. Tapi yang pasti, ini kesempatanku untuk kabur dari orang gila itu.

Sudah separuh jalan aku ke arah paman juno. Tepat mataku dan mata tante suria saling menatap. Matanya benar-benar seolah mengisyaratkan kalau dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Entahlah. Tapi ini saatnya aku harus kabur.

Secepat kilat ku tarik tangan tante suria ke arah paman Juno. "Lari...!!!" Jeritku padanya.

Siapa sangka suara jeritanku membuat semua orang di sekitar taman itu sontak mengerubungi tempat kami, termasuk dua orang penjaga taman. Sekilas aku menoleh kea rah paman Willy yang masih mematung menyaksikan kami pergi dan hilang di tengan kerumunan orang-orang yang makin lama makin ramai. Ia benar-benar tak punya kesempatan untuk mengejar.

"Tunggu dulu" Ujar paman Willy. "Apakah ini memang rencananya?" tanyanya pada diri sendiri. Seketika saja ia terbayang tentang ucapan dila yang mengatakan bahwa ini kesalahan paman willy sendiri yang mau disuruh untuk membunuh.

Tapi terserahlah, yang penting untuk saat ini aku sudah tahu siapa pembunuh orangtuaku. Dan aku bersama dengan orang-orang baik.

Aku harus menjaga tubuhku, jangan sampai aku pingsan lagi.

***

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang