TIGA BELAS: Juno Point of View

676 69 9
                                    

Sudah pukul dua malam, sementara berkas di meja kerjaku masih juga tak habis-habis kubaca. Sejujurnya aku masih tak mengerti, apakah mendapatkan banyak klien adalah musibah atau anugerah bagi seorang pengacara. Sebab saat ini, semua itu terasa seperti siksaan panjang yang aku sendiri tak tahu kapan berakhirnya.

Kesalahan terbesarku adalah membawa berkasku ke rumah. Alhasil, kantor maupun rumah tiada jauh beda. Semuanya seperti neraka. Yang kulihat hanya kertas-kertas penuh kata-kata yang harus aku telaah.

Alisku mengernyit menyadari gelas kopiku sudah kosong lagi. "Habis lagi?"

"Harusnya aku mengambil studi seni lukis kemarin" gerutuku sambil memasukan bubuk kopi instan ke dalam gelas.

Keputusan berat memang mengambil studi hukum, sementara sejak sekolah menengah pertama yang selalu aku lakukan hanya melukis satu objek ke objek lainnya lagi, itu saja. "kalau saja bukan karena keinginan terakhirnya" sambungku sambil membayangkan tubuh kurus ayahku di ranjang rumah sakit. Ia menghembuskan napas dengan membawa angannya agar anaknya dapat menjadi seorang pengacara.

if you're lost...you can look...and you will found me...time after time...

layar teleponku menyala. Suara Cindy Lauper membahana, mencoba menembus malam dan khayalanku. "siapa yang sekiranya masih tega menghubungiku jam segini?" gerutuku. Sudah jelas yang menelpon bukanlah pasanganku. Di usia seperti ini aku bahkan belum pernah terikat hubungan khusus dengan seorang wanita. Kecuali hubungan kakak-adik dengan Suria, adikku.

"Halo?" ucapku singkat dengan suara kuberatkan. Sadar bahwa yang menelpon bukan nomor yang aku kenal, maka bisa jadi ini klien baru lagi yang menelpon.

"Pembunuhan?" tanyaku memastikan bahwa yang dikatakan penelpon memang sesuai dengan apa yang aku dengar. "Hey tuan, aku mengurusi klien dalam persidangan, bukannya menerima laporan pembunuhan" ucapku dengan nada tinggi. Bagaimana mungkin ia melaporkan kasus pembunuhan padaku.

"Jika kau membunuh orang, harusnya kau segera menyerahkan diri" tambahku makin kesal.

"Bukan? Lantas siapa?"

"Maaf, tapi penawaranmu sama sekali tidak menarik" ucapku seraya mengakhiri panggilan itu segera. Rasanya sama sekali tak ada gunanya mendengarkan ucapan pria di dalam telepon itu.

Kutarik napas panjang-panjang agar segera menentralkan kembali detak jantungku. "Sebaiknya harus segera kuselesaikan snack itu" ucapku pelan sambil menatap berkas-berkas di atas meja itu.

***

Betul lah kata orang tua, mau sebanyak apapun kopi diminum kalau sudah mengantuk, tetap juga tertidur. Bahkan sinar matahari sampai menembus gorden jendela yang masih rapih tertutup, dan aku baru sadarkan diri. Kopi yang kubuat semalam saja masih banyak sisanya. Sudah pukul setengah sembilan pagi, kulihat angka itu dilayar handphoneku, tepat di atas notifikasi panggilan tak terjawab. Ada 20 panggilan tak terjawab. "Kenapa anak itu menelpon?"

"Kenapa dek?" tanyaku tepat setelah Suria mengangkat panggilanku.

"Temanku meninggal dibunuh kak" ucap suara wanita dari dalam telpon. Suaranya nampak berat, seperti habis menangis. "bisakah kau menjadi pengacara anaknya?"

"ada apa dengan anaknya?" tanyaku lagi.

"Ia satu-satunya yang masih hidup di rumah itu" jelas suria. "entah bagaimana, tapi ia ditetapkan sebagai tersangka kasus itu"

"Kasusku sudah banyak dek" jelasku.

"Kurasa hanya kau yang bisa membantunya agar ia tak dijatuhi hukuman"

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang