SEPULUH

756 75 0
                                    

Aku masih berendam di dalam bak mandi. Entah sudah berapa lama aku. Nampaknya benar-benar sudah sangat lama. Bahkan jari dan telapak tanganku sudah mulai menjadi keriput. Tapi rasanya benar-benar nyaman. Sudah sangat lama aku tak membersihkan tubuhku dengan benar seperti ini. Aku mendesah sembari tersenyum. Rasanya nikmat betul berendam di dalam air hangat ini.

"Jika memang pelakunya laki-laki, lelaki seperti apa yang menulis di dalam buku harian?" gumamku pelan tapi terasa begitu menggema di dalam kamar mandi ini. Selama ini yang aku tahu laki-laki lebih menyukai menulis di dalam blog, bukan buku harian. Apa karena ia di kurung? Sehingga tak bisa sebebas itu untuk menggunakan komputer. Aku memandangi perban pada telunjukku.

"Rasanya tidak mungkin jika paman pengacara pelakunya" gumamku lagi. "buktinya ia sampai ketakutan seperti itu kemarin" Aku tertawa sendiri jika mengingat bagaimana keringat membanjiri wajahnya sepanjang penggeledahan kami semalam. "tangannya itu loh, sampai gemetaran" ucapku pada diriku sendiri.

"Tapi.."

Sebuah ketukan mengagetkanku. Bayanganku tentang teka-teki buku harian ini buyar seketika. Padahal rasanya hampir saja aku menemukan sesuatu yang penting.

"Ya?"

"Kapan kau akan selesai di dalam?" Terlihat bayangan hitam di pintu kamar mandi. Sekali lagi, aku seperti melihat ayahku sendiri. Bayangan itu hampir persis dengan bayangan ayahku, hanya saja ia sedikit lebih pendek dibandingkan dengan ayah.

"Sebentar lagi paman"

Tak ada lagi balasan. Nampaknya ia sudah pergi dari depan pintu itu. Kembali aku mencoba untuk memfokuskan pikiranku. "pria...buku harian..."

Oh ya

"jika memang isi buku hariannya seperti itu, artinya itu sudah membuktikan bahwa bukan aku pelakunya"

Aku bergegas bangkit dari bathtub. Secepatnya paman pengacara harus tahu tentang ini

***

Lelaki yang hampir seumuran ayahku ini berbaring santai di sofa. Persis seperti ayahku, membaca buku sambil telentang di sofa panjang.

"Kenapa Wid?"

"Sebenarnya ada yang aneh di buku harian itu" ujarku ragu-ragu. Ya, sejujurnya aku masih ragu untuk mengatakannya. Sebab tak ada satu orangpun yang dapat aku percayai saat ini. Bisa saja orang yang sekarang berada dihadapanku. Yang jaraknya bahkan tak terlalu jauh ini, adalah pembunuh ayah dan ibuku.

"Apa?" tanyanya. Segera saja ia bangkit dan duduk. Terlihat sekali ia juga sama tertariknya dengan kasusku yang menjengkelkan ini.

"Sepertinya yang punya buku harian itu seorang pria"

"Maksudmu?"

"Ya, seorang pria" ujarku. Aku mendekatinya dan segera duduk. "dari isi diary-nya, ia menyukai ibuku dan membenci ayahku"

"Lalu?"

"Ia memanggil ayah dan ibuku dengan nama saja, artinya dia seumuran ayah dan ibu"

"Siapa kira-kira pelakunya?" tanyanya

"itulah yang aku masih bingung"

"Maksudnya??"

"Ya, aku bingung" sejenak aku mengambil napas. Percakapan ini rasanya begitu menggebu-gebu. Sampai-sampai aku tak sempat mengatur napasku dengan benar. "aku tak tahu siapa pria ini"

"Coba kau pikir lagi"

"Yang pasti ia dikurung oleh ayahku" jelasku. Alis paman pengacara itu mengernyit.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang